Selamatkan Budaya Papua dari Degradasi
JAYAPURA - Tanggal 31 Oktober dalam tahun ini diperingati sebagai Hari Budaya Papua. Peringatan Hari Budaya Papua telah digelar selama hampir tujuh tahun belakangan ini bersamaan dengan HUT MRP. Tahun 2013 peringatan serupa akan digelar kembali. Peringatan Hari Budaya Papua yang rutin dilaksanakan ini, pada gilirannya dicanangkan dan diwacanakan oleh MRP tanggal 31 Oktober sebagai Hari Budaya bagi Tanah Papua.
Peringatan Hari Budaya yang digelar akhir pekan ini merupakan suatu momentum yang berharga bagi MRP dan bagi kita semua, dimana dalam perayaan nanti MRP berharap Pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan seluruh unsur muspida, akan menyepakati moment 31 Oktober dalam tahun ini diperingati sebagai Hari Budaya Papua. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Pokja Adat MRP Aristarkus Marey, Kamis(24/10/2013) disela persiapan Hari Budaya Papua di Kantor MRP.
Menurut Aristarkus Marey, mengapa 31 Oktober diperingati sebagai Hari Budaya Papua tak lain adalah ingin memperlihatkan bahwa kebudayaan suatu bangsa menunjukkan harga diri dan jati diri pemilik budaya itu sendiri.
“Peringatan Haru Budaya Papua ini ketika dikaitkan dengan adat istiadatnya akhir-akhir ini telah tergerus jaman hingga mengalami degradasi terhadap nilai budaya Papua,” ujar Marey.
Dikatakan, nilai budaya luhur dan sakral yang dimiliki komunitas masyarakat adat di Papua yang diturunkan dan dihidupkan para leluhur itu sedikit demi sedikit berubah seiring perkembangan jaman ini, termasuk masuknya ilmu pengetahuan kedalam budaya turut mempengaruhi perilaku manusia dalam menyikapi segala hal. Dengan momentum Hari Budaya nanti dan kedepan serentak diperingati seluruh masyarakat Papua.
MRP sementara ini sedang mendorong peringatan Hari Budaya Papua ini diakomodir dalam sebuah Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasus. Dalam perayaan 31 Oktober mendatang, MRP akan melihat celah-celah sebuah perangkat hukum yang menetapkan tanggal 31 Oktober itu.
Ia mencontohkan terjadinya degradasi budaya dalam hidup orang Papua sudah terjadi hal ini ditimbulkan oleh sikap acuh tak acuh yang tak mau menghargai budayanya sendiri. Sebuah realita penamaan salah satu jalan di daerah Papua yang namanya jalan Jenderal Sudirman sebenarnya penamaan itu kurang tepat, sebaiknya penamaan suatu jalan atau atau bangunan diberi nama tokoh lokal Papua yang harusnya diabadikan pada nama-nama jalan raya.
Menurut Ketua LMA Nabire ini, hal itu menunjukan gejala-gejala kurangnya penghargaan terhadap nilai budaya. Itulah sebabnya dalam perayaan 31 Oktober mendatang setelah gubernur bersedia mencanangkan moment 31 Oktober sebagai Hari Budaya Papua, maka MRP akan menyusulkan Perdasus Hari Budaya Papua hingga kedepan peringatan Hari Budaya Papua tak diartikan sebagai kegiatan serimoni belaka melainkan menjadi sebuah Hari terjadinya perubahan yang menumbuhkan rasa cinta akan budaya termasuk cinta akan makanan khas daerah.
Momen itu kedepan akan jadi moment dimana semua masyarakat di masing-masing daerah mengangkat nilai budayanya, daerah yang punya kebiasaan makan keladi, hari itu semua diharuskan makan keladi, sagu dan lainnya. Kebiasaan ini merupakan satu cara melestarikan kebiasaan yang diturunkan leluhur di Papua agar tak digerus jaman hingga orang Papua tak dikatakan kehilangan identitas dan jatidirinya diatas tanah leluhurnya, ujar Marey mengingatkan.
Praktik berbudaya yang mengangkat hal-hal kecil seperti makanan khas daerah, perlahan namun pasti menunjukan bahwa kita mulai menghargai budaya kita sendiri tak hanya generasi jaman ini saja melainkan generasi mendatang.
Ancaman degradasi budaya
Ia melihat, ancaman terhadap degradasi budaya paling nyata nampak pada generasi muda saat ini, perilaku relasi kalangan anak muda saat ini tengah diperhadapkan pada krisis identitas yang tak bisa dibohongi, dampaknya sangat besar sekali, ujarnya. Realitas yang ditemui pada generasi muda saat ini adalah kurangnya penghargaan pada jati dirinya sesuai ciptaan Tuhan yang menjadikan kulitnya hitam rambut keriting.
Yang terjadi dimana mana anak-anak Papua saat ini, berusaha mengubah bentuk fisik dasar dalam rambut yang berusaha dilolongkan, ditarik bahkan dicat kuning seperti kus kus pohon saja, inikan, orang tak tahu menghargai diri sendiri.
Ia melihat perubahan ini sebagai bagian dari ancaman budaya kita dan bagian dari tanda-tanda degradasi. Ia mencontohkan sebuah kasus yang nampak menonjol dalam budaya orang Papua sehubungan dengan pembayaran mas kawin atau mahar. Dulu komunitas masyarakat adat Papua melakukan pembayaran mas kawin dalam iring-iringan orang pegang piring tanpa memakai bendera merah putih, namun yang nampak sekarang adalah pembayaran mas kawin dengan iring-iringan bendera merah putih dan piring-piring mas kawin.
“Siapa yang kasih tahu kamu kalau itu adat orang Papua. Dulu Tete dorang tara pakai bendera belanda antar mas kawin”, ujarnya tegas menirukan apa yang pernah dibuat orang tua dulu. Mas kawin menurut adat Papua diantar ke rumah perempuan tanpa embel-embel bendera. Ia mengakui, degradasi budaya dimulai ketika negara ini masuk dalam era reformasi. Reformasi membawa perubahan dimana relasi budaya turut dipengaruhi oleh yang namanya kebebasan yang turut membawa perubahan cukub drastis.
Namun bukan berarti itu awal, degradasi budaya di Papua itu terjadi sejak integrasi sampai-sampai yang lebih sadis dijumpai pada perubahan pola relasi dunia politik. Generasi Orang Papua muda yang terjun ke dunia politik saat ini kehilangan identitas diri sebagai sesama saudara, tak ada penghargaan pada sesama saudaranya sendiri.
Padahal adat istiadat kita tak mendidik kita untuk melupakan saudara meski seseorang statusnya berubah. Ketika hal itu tak diubah akan terbawa secara struktural dan memang sudah terjadi bahwa relasi persaudaraan kakak beradik diputar balikan yang kakak jadi adik yang adik jadi kakak. Kalau seorang adik kepalanya botak statusnya tetap adik dan tak bisa dipanggil kakak karena kepalanya botak, katanya mencontohkan.
Ia mengingatkan, jangan merubah-rubah apa yang telah digariskan, ketika kita merubah apa yang digariskan termasuk juga merubah adat keturunan kita. Satu hal disinggung terkait budaya mabuk, sekarang orang bilang siapa tukang mabuk, pasti konotasinya ke orang Papua. Kita ini bukan tukang mabuk, siapa yang menciptakan itu. Ia menegaskan mabuk merupakan konotasi negatif yang diposisikan dalam rangka memecah belah Orang Papua.
“Saya kadang tak percaya, ketika menemui seorang anak muda Papua yang bersekolah tinggi, namun ketika dia mabuk, saya tanya dan dia jawab saya mahasiswa, kenapa kau mahasiswa tidak tahu adat begitu, mahasiswa lupa diri. Karena orang mabuk itu bukan hal yang baik. Jadi banyak hal dalam kehidupan kita ini yang mulai bergeser dalam kehidupan harian. Contoh menyedihkan lainnya terangnya adalah, ketika seseorang menjadi pejabat tegur sapa sudah tak berlaku, orang tak lagi menganggap tegur sapa bagian dari hidup saling menghormati dan menghargai orang lain, orang melihat sesamanya seperti sampah”
“Padah kita atau pejabat harus paham bahwa kita ini budak bagi rakyat, bagi sesama yang menyapa kita. Bupati, Gubernur, DPR, MRP kita ini budak bagi rakyat, bukan tuan. Tegur sapa merupakan satu nilai budaya yang luntur akibat keegoisan orang. Sikap ini menunjukkan sikap manusia tak berbudaya,” terangnya panjang lebar.(ven/don/l03/@dv)
source: Bintangpapua.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar