Select Menu

Slider

clean-5

Total Pageviews

Hukum dan Kriminal

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos


Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP), Forkorus Yaboisembut mengatakan, tanggal 10 November, telah  ditetapkan sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day Of West Papua).

Hal ini disampaikan melalui surat pidato Presiden Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB)  dan juga sebagai Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) dalam rangka memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), yang diterima tabloidjubi.com, melalui pesan surat elektronik, Jumat (8/11).

Forkorus menjelaskan, mengapa  10 November ditetapkan sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat?  Karena Ondofolo Dortheis Hiyo Eluay (Theys) sebagai Ketua Lembaga Masyarakat  Adat   (LMA)  Provinsi Irian Jaya  ( sekarang Papua dan Papua Barat ),  juga sebagai Ketua Presidium Dewan Papua (PDP), serta sebagai Pemimpin Bangsa Papua telah diculik dan dibunuh oleh Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS) Tentara Nasional Indonesia (TNI) tepatnya pada tanggal 10 November 2001  di Jayapura.

“Theys sebagai pemimpin besar bangsa Papua dapat mewakili baik semua pemimpin di setiap level/strata, maupun hari-hari di mana ratusan ribu rakyat bangsa Papua mulai dari bayi dalam kandungan sampai orang tua laki-laki  dan perempuan yang telah disiksa dan dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Indonesia sejak tahun 1962 sampai sekarang. Untuk mempertahankan aneksasi secara abadi tanah-air Papua Barat oleh Pemerintah Republik Indonesia,” ucap Forkorus, dalam surat  pidato tersebut yang ditulis dari dalam penjara Klas II Abepura, Jumat (8/11).

Dikatakan, Theys Eluay yang menghargai undangan KOPASUS untuk perayaan Hari Pahlawan Indonesia, 10 November 2001, malah diculik, disiksa dan dibunuh di dalam mobilnya bersama sopirnya Aristoteles Masoka. Itulah salah satu bentuk pembunuhan dengan tipu daya muslihat. Kesopan-santunan serta penghargaan dan penghormatan Theys yang mewakili kita dibalas dengan kejahatan pembunuhan.

Mengapa terus terjadi kejahatan kemanusiaan dalam berbagai bentuk di atas tanah-air Papua Barat dan juga di seluruh planet bumi kita ini ?  Kapan ada kejahatan kemanusiaan di planet bumi ini ?  Jika, kita baca ceritera dalam Alkitab tentang Kain dan Habel dua orang atau manusia bersaudara itu, kita pasti tahu, bahwa sejak Kain membunuh adik kandungnya Habel, kejahatan kemanusiaan sudah ada di bumi ini.

Pihaknya bertanya, mengapa terus terjadi kejahatan kemanusiaan ? Karena ada perasaan hati yang negatif. Seperti iri hati, sombong atau angkuh serta egois, yang dengan kata-kata lain disebut perasaan tamak atau rakus (greedy). Tamak akan kekayaan harta benda, tamak akan kekuasaan, ketenaran, pangkat, jabatan dan lain-lain hal yang sejenis.

“Tetapi kalau kita teliti secara baik-baik, bahwa semua sifat yang negatif yang timbul dari dalam hati karena ada perasaan kekuatiran dan rasa takut yang berlebihan dalam kehidupan secara pribadi maupun kolektif. Misalnya, takut tidak dapat makan dan minum yang enak. Takut tidak dapat jabatan atau takut kehilangan jabatan dan harta benda. Takut disaingi oleh teman atau lawan kita,” tuturnya.

Perasaan takut dan kuatir akan kehidupan membuat kita iri hati, egois atau tamak (greedy). Sehingga kita mencari berbagai cara, baik yang halal maupun yang jahat. Sebagai solusi penyelesaian konflik batin, rasa kuatir dan takut akan kehidupan di dunia. Sehingga kita melakukan kejahatan kemanusiaan di mana-mana di seluruh dunia. Tetapi, kita juga sadar atau tidak telah dan sedang melakukan kejahatan kemanusiaan karena ada hawa nafsu untuk menikmati semua yang kita inginkan.

Pada moment Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), 10 November 2013 ini, saya mengajak kita semua introsfeksi diri kita, secara pribadi maupun secara kolektif di setiap suku-suku dan sebagai bangsa Papua di negeri Papua Barat dan merobah gaya hidup (life style). Agar kita tidak terus hidup  dalam melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap keluarga, orang tua, saudara/i  kita, teman maupun pihak lain.

Apabila kita dijahati orang rasa sakit, maka orang lain yang mengalami kejahatan kita juga menderita rasa sakit yang sama.

Oleh karena itu, Forkorus Yaboisembut mengajak, semua rakyat Papua untuk  berjuang dengan cara-cara damai, serta menghargai nilai-nilai hak azasi manusia, azas-azas demokrasi, dan prinsip-prinsip hukum internasional. Dengan landasan itu, kita meminta Pemerintah Indonesia untuk menerima inisiatif tawaran negosiasi atau perundingan langsung. “Terutama, untuk mengatur proses pengakuan dan peralihan kekuasaan kedaulatan pemerintahan  dari Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Negara Federal Republik Papua Barat secara damai,” paparnya.

Pemerintah Republik Indonesia tidak perlu kuatir dan takut kehilangan tanah-air Papua Barat dengan sumber daya alamnya. Karena Tuhan Yang Maha Esa, Mahakuasa, Mahakasih dan Penyayang pencipta alam semesta dan isinya pasti mengaruniakan berkat kepada setiap pulau milik Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, takut kepada Tuhan Allah dan melaksanakan perintah Nya sebagai sumber dari segala sumber berkat. Perintah Tuhan Allah bagi Pemerintah Republik Indonesia sangat jelas, yakni menjadi rahmat bagi setiap makhluk.

Salah satu wujud dari menjadi rahmat bagi setiap makhluk adalah dengan mengakui kemerdekaan kedaulatan Papua Barat dan melakukan proses peralihan kekuasaan kedaulatan pemerintahan kepada Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB) atas negeri Papua Barat.

Bapak/Ibu/Sdr/i pada moment Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), 10 November 2013 ini, kita patut mendoakan sesama umat manusia di belahan lain di bumi ini, yang juga mengalami peristiwa kejahatan kemanusiaan. Agar para pemimpin mereka baik pemerintahan yang sedang berkuasa, maupun para pihak oposisi dapat merobah cara pandang atau gaya hidup (life style) mereka yang egois atau tamak (greedy). Sehingga rakyat di sana dapat hidup lebih aman, damai dan sejahtera, serta dapat berimbas kepada perdamaian di seluruh dunia. Karena ada saling menghargai dan menghormati hak masing-masing pihak di atas tanah-air mereka dengan pengakuan dan pengaturan secara adil.

Bila ada yang merencanakan pelaksanaan dalam bentuk lain, seperti melakukan demo damai. Harap supaya benar-benar dalam suasana damai, tertib, aman, dan terkendali. Kepada pihak aparat polisi dan militer Indonesia supaya dapat memberikan kesempatam kepada penyampaian pendapat di depan umum. Jangan dibatasi dengan alasan tidak ada Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) dari Polisi. Hal itu menunjukan adanya sikap dan tindakan diskriminatif, dan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak azasi manusia Papua Barat yang nyata pada tahun 2013 berlaku. Ada apa di balik itu semua ?

“Demikianlah sambutan saya, sebagai Presiden Negara Federal Republik Papua Barat (NRFPB)  dan juga sebagai Ketua Umum Dewan Adat Papua (DAP) dalam rangka memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua), 10 November 2013. Atas perhatian dan kerja samanya saya sampaikan terima kasih! Syalom! Tuhan Yesus beserta kita,” demikian kata Forkorus mengakhiri pidatonya.

Dari informasi yang diterima, terkait dengan ditetapkannya hari tersebut, selanjutnya pada Sabtu (9/11) besok, akan diadakan ibadah bersama oleh para petinggi Dewan Adat  Papua di Jayapura.

“Yah, selain jumpa pers, kita juga akan  memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan, 10 November 2013 dalam bentuk Ibadah Syukur, yang direncanakan  pada hari Sabtu, 11 November 2013. Tempat dan waktu ibadah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing,” kata Ferdinand Okoseray, salah satu pengurus DAP, ketika dikonfirmasi tabloidjubi.com.  (Jubi/Eveerth)

source: tabloidjubi.com
- -
Theys Eluay saat meninggal dunia | Ist

@IRNewscom | Sentani: DEWAN Adat Papua (DAP) akan memperingati Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat (Humanity Tragic Day of West Papua) yang jatuh pada Minggu (10/11). Peringatan itu digelar dengan ibadah syukur.

"Hari Tragedi Kemanusiaan (10/11) akan diperingati dalam bentuk ibadah syukur pada hari Senin (11/11). Tempat dan waktu ibadah disesuaikan dengan kondisi daerah masing-masing," kata Ketua Umum DAP, Forkorus Yaboisembut, di Sentani, Sabtu (09/11).

Forkorus mengatakan, 10 November ditetapkan sebagai Hari Tragedi Kemanusiaan Papua Barat untuk memperingati meninggalnya secara tidak wajar Ondofolo Dortheis Hiyo Eluay (Theys) yang menjabat Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Provinsi Papua. Dia juga sebagai Ketua Presidium Dewan Papua (PDP). "Saya mengajak semua pihak untuk melakukan introspeksi, secara pribadi maupun secara kolektif di setiap suku-suku dan sebagai warga Papua untuk mengubah gaya hidup (life style) dengan dengan tidak melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap keluarga, orang tua, saudara, teman maupun pihak lain," ujarnya seperti dilansir Antara.

Menurut dia, pihaknya telah memilih dan berjuang dengan cara-cara damai, serta menghargai nilai-nilai hak asasi manusia, asas-asas demokrasi, dan prinsip-prinsip hukum internasional. "Kami patut mendoakan sesama umat manusia di belahan lain di bumi ini yang juga mengalami peristiwa kejahatan kemanusiaan. Agar para pemimpin mereka, baik pemerintahan yang sedang berkuasa, maupun para pihak oposisi dapat mengubah cara pandang atau gaya hidup (life style) mereka yang egois atau tamak (greedy)," kata Forkorus.

Dengan demikian, lanjut dia, rakyat bisa hidup lebih aman, damai dan sejahtera, serta pada gilirannya diharapkan dapat berimbas kepada perdamaian di seluruh dunia.

Selain itu, kata Forkorus, bila ada yang merencanakan pelaksanaan peringatan Hari Tragedi Kemanusiaan dalam bentuk lain, seperti melakukan demo damai, diharapkan agar benar-benar dalam suasana damai, tertib, aman, dan terkendali. "Kepada pihak aparat polisi dan militer Indonesia supaya dapat memberikan kesempatan kepada penyampaian pendapat di depan umum," ujar dia. [ant]

source: www.indonesiarayanews.com
- -

KOTEKA adalah penutup bagian khusus alat kelamin pria yang dipakai beberapa suku di Tanah Papua. Bagi pria berwibawa dan terkenal dalam masyarakat, koteka yang digunakan harus berukuran besar dan panjang. Batang kotekanya pun diukir berwarna-warni. Seorang pria berwibawa dan gagah biasanya mengenakan koteka sambil memegang panah dan busur dengan tatapan wajah yang tajam ke alam bebas.
            Kata KOTEKA berasal dari salah satu suku di Paniai, artinya ‘pakaian’. Di Wamena koteka disebut holim. Ada berbagai jenis ukuran koteka, tergantungbesar kecilnya kondisi fisik pemakai. Tetapi, besarnya koteka juga sering hanya sebagai aksesoris bagi si pemakai. Tidak ada literatur yang menyebutkan, sejak kapan suku- suku asli Papua mengenakan koteka. Sejak petualangan bangsa Eropa datang ke daerah itu, kaum pria dari suku–suku di Pegunungan Tengah (Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, Tolikara, Yahokimo, dan Pegunungan Bintang) sudah mengenakan koteka. Keterampilan membuat koteka diperoleh secara turun temurun bagi kaum pria.
            Seorang laki-laki ketika menginjak usia 5-13 tahun harus sudah mengenakan koteka sebagai busana pria. Dan itu ditandai dengan mengadakan upacara adat untuk pemasangan koteka. Pria seperti ini yang menutup bagian alat kelamin mereka dengan kulit labu ini sering disebut “manusia koteka”, atau sering pula disebut masyarakat koteka.
            Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya adalah “pria sejati”. Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka, belum pernah melakukan persebadanan. Miring ke samping kanan: simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. “Kanan” menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memimpin, dan pengayom rakyat. Miring ke samping kiri: bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur). Integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1962 merupakan satu titik balik kehidupanmasyarakat koteka. Pertemuan para pejabat dari Jakarta dengan masyarakat koteka waktu itu merupakan pertemuan dua budaya yang berbeda, yakni Melanesia dan Polinesia.
            Koteka merupakan suatu keterampilan yang unik, yang hanya dimiliki oleh suku pedalaman masyarakat di Papua, dimana Koteka merupakan pakaian adat yang digunakan pada saat belum dikenalnya Celana.digunakan untuk menutupi (maaf) Kemaluan Laki-laki.
Asal Usul
            Koteka terbuat dari kulit Labu Air. cara pembuatanya dengan mengeluarkan isi dan biji labu yang sudah tua, dan kulitnya di jemur. kata Koteka secara harfiah, bermakna Pakaian, berasal dari bahasa salah satu suku di Kab.Paniai. sebagian Suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya hilom atau horim
            Banyak Suku yang dapat dikenali dengan cara mereka menggunakan koteka, untuk koteka yang pendek digunakan saat bekerja dan yang panjang dengan atribut hiasan, digunakan pada saat melaksanakan upacara adat, namun setiap suku memiliki perbedaan bentuk Koteka, misalnya Suku Yali, memiliki bentuk labu yang panjang, sedangkan masyarakat Tiom biasanya memakai dua labu.



Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobbe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka.
            Di tahun 1950, Misionaris yang datang ke Papua, telah mengkampanyekan penggunaan celana sebagai pengganti Koteka, namun usaha itu tidak sepenuhnya berhasil, karena Suku Dani dilembah baliem saat itu masih ada yang menggunakan Koteka, hingga memasuki tahun 1960 Pada masa Pemerintahan RI, kampanye penggunaan celana terus di suarakan, namun belum berdampak signifikan.
            Memasuki Tahun 1971 melalui Gubernur Frans Kaisepo, kampanye anti koteka di gelar, pada masa ini di kenal sebagai "operasi koteka", dengan cara membagi-bagikan Pakaian kepada penduduk, namun operasi itu berdampak pada penyakit kulit yang menyerang warga, dikarenakan tidak adanya sabun untuk mencuci pakaian.
            Di Tahun - tahun berikutnya pemakaian Koteka pada Masyarakat penggunungan Papua semakin berkurang, itu dikarenakan perkembangan hidup modern, dan telah banyaknya laki-laki penggunungan papua yang terpelajar, Penggunaan Koteka pada saat ini, masih dapat di Jumpai ketika berlangsungnya Upacara Adat, namun tidak menutup kemungkinan penggunaan Koteka akan semakin tersisihkan.
Berita
            Mendaftarkan Koteka sebagai warisan Budaya tak benda ke Unesco, yang merupakan usulan dari Balai Penelitian Arkeolog  Jayapura, Papua, adalah tindakan yang tepat, untuk mengupayakan Budaya Papua yang juga harus memiliki Payung Hukum, dengan begitu peninggalan sejarah Budaya tidak musnah, namun bisa menjadi ingatan sejarah masa lampau yang akan menjadi bagian dari ilmu pendidikan yang mengulas tentang sejarah kehidupan sosial budaya masyarakat Papua pada jaman sebelum modern.
Kesimpulan
            Setelah mengetahui Sejarah dan Fungsi Koteka dalam kehidupan masyarakat Papua, penulis tidak menemukan Filosofi yang terkandung dalam koteka itu sendiri, namun penilain-nya lebih kepada unsur seni dan keterampilan. Di jaman modern ini, Koteka yang semakin tersisih, akan fungsinya memang patut untuk tetap di lestarikan dengan cara - cara mengalih fungsikan Koteka tanpa meninggalkan nilai - nilai yang terkandung di dalamnya. Koteka bisa digunakan sebagai media melukis dan souvenir bagi wisatawan, selain itu, dengan melestarikannya sama juga menghargai seni dan keterampilan warga setempat.
            Koteka merupakan aset budaya bangsa, sekalipun di era yang modern nanti Koteka telah memiliki fungsi lain, namun tetap menjadi bagian dari kebudayaan yang tak boleh dilupakan, dengan terus melestarikan kebudayaan, sama juga telah menjaga aset budaya yang memiliki nilai - nilai leluhur didalamnya dan tidak hilang di tengah perkembangan jaman.

source:dikadarmawan.blogspot.com
-

JAYAPURA - Tanggal 31 Oktober dalam tahun ini diperingati sebagai Hari Budaya Papua. Peringatan Hari Budaya Papua telah digelar selama hampir  tujuh tahun belakangan ini bersamaan dengan HUT MRP. Tahun 2013 peringatan serupa akan digelar kembali. Peringatan Hari Budaya Papua yang rutin dilaksanakan ini, pada gilirannya dicanangkan dan diwacanakan oleh MRP tanggal 31 Oktober sebagai Hari Budaya bagi Tanah Papua.
Peringatan Hari Budaya yang digelar akhir pekan ini merupakan suatu momentum yang berharga bagi MRP dan bagi kita semua, dimana dalam perayaan nanti MRP berharap Pemerintah daerah dalam hal ini gubernur dan seluruh unsur muspida,  akan menyepakati moment 31 Oktober dalam tahun   ini diperingati sebagai Hari Budaya Papua. Hal itu dikatakan Wakil Ketua Pokja Adat MRP Aristarkus Marey, Kamis(24/10/2013) disela persiapan Hari Budaya Papua di Kantor MRP.
Menurut Aristarkus Marey, mengapa 31 Oktober diperingati sebagai Hari Budaya Papua tak lain adalah ingin memperlihatkan bahwa kebudayaan suatu bangsa menunjukkan harga diri dan jati diri pemilik budaya itu sendiri.


“Peringatan Haru Budaya Papua ini ketika dikaitkan dengan adat istiadatnya akhir-akhir ini telah tergerus jaman hingga mengalami degradasi terhadap nilai budaya Papua,” ujar Marey.
Dikatakan, nilai budaya luhur dan sakral yang dimiliki komunitas masyarakat adat di Papua yang diturunkan dan dihidupkan para leluhur itu sedikit demi sedikit berubah seiring perkembangan jaman ini, termasuk masuknya ilmu pengetahuan kedalam budaya turut mempengaruhi perilaku manusia dalam menyikapi segala hal. Dengan momentum Hari Budaya nanti dan kedepan serentak diperingati seluruh masyarakat Papua.
MRP sementara ini sedang mendorong peringatan Hari Budaya Papua ini diakomodir dalam sebuah Peraturan Daerah Provinsi atau Perdasus. Dalam perayaan 31 Oktober mendatang, MRP akan melihat celah-celah sebuah perangkat hukum yang menetapkan tanggal 31 Oktober itu.
Ia mencontohkan terjadinya degradasi budaya dalam hidup orang Papua sudah terjadi hal ini ditimbulkan oleh sikap acuh tak acuh yang tak mau menghargai budayanya sendiri. Sebuah realita penamaan salah satu jalan di daerah Papua yang namanya jalan Jenderal Sudirman sebenarnya penamaan itu kurang tepat, sebaiknya penamaan suatu jalan atau atau bangunan diberi nama tokoh lokal Papua yang harusnya diabadikan pada nama-nama jalan raya.
Menurut Ketua LMA Nabire ini, hal itu menunjukan gejala-gejala kurangnya penghargaan terhadap nilai budaya. Itulah sebabnya dalam perayaan 31 Oktober mendatang setelah gubernur bersedia mencanangkan moment 31 Oktober sebagai Hari Budaya Papua, maka MRP akan menyusulkan Perdasus  Hari Budaya Papua hingga kedepan peringatan Hari Budaya Papua tak diartikan sebagai kegiatan serimoni belaka melainkan menjadi sebuah Hari terjadinya perubahan yang menumbuhkan rasa cinta akan budaya termasuk cinta akan makanan khas daerah.
Momen itu kedepan akan jadi moment dimana semua masyarakat di masing-masing daerah mengangkat nilai budayanya, daerah yang punya kebiasaan makan keladi, hari itu semua diharuskan makan keladi, sagu dan lainnya. Kebiasaan ini merupakan satu cara melestarikan kebiasaan yang diturunkan leluhur di Papua agar tak digerus jaman hingga orang Papua tak dikatakan kehilangan identitas dan jatidirinya diatas tanah leluhurnya, ujar Marey mengingatkan.
Praktik berbudaya yang mengangkat hal-hal kecil seperti makanan khas daerah, perlahan namun pasti menunjukan bahwa kita mulai menghargai budaya kita sendiri tak hanya generasi jaman ini saja melainkan generasi  mendatang.

Ancaman degradasi budaya
 Ia melihat, ancaman terhadap degradasi budaya paling nyata nampak pada generasi muda saat ini, perilaku relasi kalangan anak muda saat ini tengah diperhadapkan pada krisis identitas yang tak bisa dibohongi, dampaknya sangat besar sekali, ujarnya. Realitas yang ditemui pada generasi muda saat ini adalah kurangnya penghargaan pada jati dirinya sesuai ciptaan Tuhan yang menjadikan kulitnya hitam rambut keriting.
Yang terjadi dimana mana anak-anak Papua saat ini, berusaha mengubah bentuk fisik dasar dalam rambut yang berusaha dilolongkan, ditarik bahkan dicat kuning seperti kus kus pohon saja, inikan, orang tak tahu menghargai diri sendiri.
Ia melihat perubahan ini sebagai bagian dari ancaman budaya kita dan bagian dari tanda-tanda degradasi. Ia mencontohkan sebuah kasus yang nampak menonjol dalam budaya orang Papua sehubungan dengan pembayaran mas kawin atau mahar. Dulu komunitas masyarakat adat Papua melakukan pembayaran mas kawin dalam iring-iringan orang pegang piring tanpa memakai bendera merah putih, namun yang nampak sekarang adalah pembayaran mas kawin dengan iring-iringan bendera merah putih dan piring-piring mas kawin.
 “Siapa yang kasih tahu kamu kalau itu adat orang Papua. Dulu Tete dorang tara pakai bendera belanda antar mas kawin”, ujarnya tegas menirukan apa yang pernah dibuat orang tua dulu. Mas kawin menurut adat Papua diantar ke rumah perempuan tanpa embel-embel bendera. Ia mengakui, degradasi budaya dimulai ketika negara ini masuk dalam era reformasi. Reformasi membawa perubahan dimana relasi budaya turut dipengaruhi oleh yang namanya kebebasan yang turut membawa perubahan cukub drastis.
Namun bukan berarti itu awal, degradasi budaya di Papua itu terjadi sejak integrasi sampai-sampai yang lebih sadis dijumpai pada perubahan pola relasi  dunia politik. Generasi Orang Papua muda yang terjun ke dunia politik saat ini kehilangan identitas diri sebagai sesama saudara, tak ada penghargaan pada sesama saudaranya sendiri.
Padahal adat istiadat kita tak mendidik kita untuk melupakan saudara meski seseorang statusnya berubah. Ketika hal itu tak diubah akan terbawa secara struktural dan memang sudah terjadi bahwa relasi persaudaraan kakak beradik diputar balikan yang kakak jadi adik yang adik jadi kakak. Kalau seorang adik kepalanya botak statusnya tetap adik dan tak bisa dipanggil kakak karena kepalanya botak, katanya mencontohkan.
Ia mengingatkan, jangan merubah-rubah apa yang telah digariskan, ketika kita merubah apa yang digariskan termasuk juga merubah adat keturunan kita. Satu hal disinggung terkait budaya mabuk, sekarang orang bilang siapa tukang mabuk, pasti konotasinya ke orang Papua. Kita ini bukan tukang mabuk, siapa yang menciptakan itu. Ia menegaskan mabuk merupakan konotasi negatif yang diposisikan dalam rangka memecah belah Orang Papua.
“Saya kadang tak percaya, ketika menemui seorang anak muda Papua yang bersekolah tinggi, namun ketika dia mabuk, saya tanya dan dia jawab saya mahasiswa, kenapa kau mahasiswa tidak tahu adat begitu, mahasiswa lupa diri. Karena orang mabuk itu bukan hal yang baik. Jadi banyak hal dalam kehidupan kita ini yang mulai bergeser dalam kehidupan harian. Contoh menyedihkan lainnya terangnya adalah, ketika seseorang menjadi pejabat tegur sapa sudah tak berlaku, orang tak lagi menganggap tegur sapa bagian dari hidup saling menghormati dan menghargai orang lain, orang melihat sesamanya seperti sampah”
“Padah kita atau pejabat harus paham bahwa kita ini budak bagi rakyat, bagi sesama yang menyapa kita. Bupati, Gubernur, DPR, MRP kita ini budak bagi rakyat, bukan tuan. Tegur sapa merupakan satu nilai budaya yang luntur akibat keegoisan orang. Sikap ini menunjukkan sikap manusia tak berbudaya,” terangnya panjang lebar.(ven/don/l03/@dv)

source: Bintangpapua.com
- - -

Tanah Papua sangat kaya, tembaga dan emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia.[1] Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan “dunia yang hilang”,dan “Taman Firdaus di bumi”, dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Bumi Papua atau Bumi Cenderawasih memang subur dan kaya mulai kekayaan bahari, kebudayaan, emas, tembaga dan mineral lainnya.  Provinsi Papua yang terletak di ujung timur negara Indonesia memiliki banyak kebudayaan yang unik dan menarik,  seperti alat musik tradisionalnya, tarian tradisional, rumah tradisional, pakaian dan kesenian lainnya yang terdapat di Papua. Namun kehidupan masyarakat papua tidaklah sekaya potensi alam dan kebudayaan yang mereka miliki. Jika dikelola dengan baik, mungkin orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang melimpah tersebut.

Papua hadir dalam sejarah Indonesia sejak 1 mei 1963, sejak sejarah bergabungnya tanah papua kedalam NKRI, daerah ini terus mengalami guncangan dan pertumpahan darah. Banyak solusi yang telah diajukan dan dicoba untuk dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Tetapi masalah yang dialami masyarakat papua bukan terurai dan terselesaikan melainkan menjadi lebih kompleks. Minimnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang, pemerintah pusat didominasi oleh kebijakan yang sentralistis yang dinilai pemerintah papua tidak menguntungkan bagi mereka. Pemerintah pusat senantiasa mengedepankan kebijakan nasional yang bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah NKRI. Namun pandangan dan realisasi tersebut tidak sesuai. Pemerintah pusat melakukan penetrasi kekuasaan terlampau jauh terhadap daerah-daerah, sementara telah ada otonomi daerah dan otonomi khusus bagi provinsi Papua. Dalam penetrasi kekuasaan tersebut Nampak seolah-olah pemerintah pusat ingin menguasai setiap jengkal tanah papua. Sehingga masyarakat asli merasa dirinya sebagai tamu yang tersingkir ditanah kelahirannya sendiri.

Eksploitasi kekayaan alam papua oleh pemerintah dengan alasan yang tidak masuk diakal. Misalnya saja, Freeport adalah lahan sangat empuk bagi segelintir pejabat, para jenderal dan juga para politisi busuk negeri ini, yang menikmati hidup bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. Para petinggi Freeport sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.

Sebagai suatu daerah yang bergabung kedalam Republik Indonesia setelah delapan belas tahun Indonesia merdeka yang tidak memiliki komunikasi yang cukup intensif dengan daerah-daerah lain, maka sangat wajar bila masyarakat papua menjadi suatu daerah yang terisolir dan tertinggal. Minimnya komunikasi anatara pemerintah pusat dan masyarakat Papua disebakan oleh dua hal, pertama, pemerintah beranggapan bahwa komunikasi dan dialog dengan masyarakat papua tidak penting, sebab pemerintah pusat menilai masyarakat Papua tidak memiliki kebudayaan. Hal yang dianggap penting oleh pemerintah pusat adalah bagaimana membuat masyarakat Papua diajari mengenai “adat” dan kebudayaan baru kemudian setelah mereka beradat dan beradab barulah akan diadakan komunikasi. Padahal menurut pandangan antropologi, setiap suku bangsa di dunia pasti memiliki kebudayaan yang mewarnai atau menjadi referensi berfikir bagi kelompok suku bangsa tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengakuan atas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Komunikasi dengan masyarakat Papua sangat penting sebagai sarana transformasi sekaligus articulasi aspirasi dan keinginan rakyat. Proses komunikasi yang berbasis pada aspek kebudayaan lokal maka akan lebih efektif untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh mereka. Kedua, pemerintah pusat menganggap komunikasi dapat menjadi factor penghambat dalam pengambilan keputusan. Hal itu tercermin dari sikap pemerintah yang menolak dialog dengan masyarakat Pupua. Penolakan pemerintah disebabkan oleh rasa khawatir bahwa apabila rakyat berada dalam forum dialog mereka menyampaikan aspirasi merdeka.[2]

Dilihat dari segi budaya, budaya yang dimiliki Papua saat ini memang masih tertinggal. Tertinggal disini berarti mereka masih tergolong masyarakat tradisonal. Dengan budaya primitif yang mereka lakukan setiap hari, dimana dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Papua masih beraktifitas secara tradisional. Menurut saya ini bukanlah suatu kesalahan penuh dari pemerintah saja. Tetapi karena sulitnya merubah budaya asli Papua yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat Papua. Keterbelakangan mereka mungkin disebabkan karena sejarah Papua sendiri. Papua berbeda dengan Jawa, sejak ratusan tahun lalu Jawa telah terjajah oleh bangsa asing yang pastinya membawa budaya modern Eropa mereka. Sedangkan Papua yang terletak diujung timur Indonesia baru 1900-an dimasuki bangsa Belanda, dimana pada tahun yang sama Jawa telah dijajah bangsa Belanda satu abad lebih. Disini bangsa Jawa selama seabad lebih itu telah berinteraksi dengan bangsa asing dan budaya modern mereka. Selama bertahun-tahun mereka telah berinteraksi dan menerima budaya modern dan hal itu sangat berpenagruh pada masyarakat saat ini yang lebih bisa menerima budaya-budaya baru yang modern. Sedangkan di bumi Papua masyarakatnya baru mulai mengenal bangsa asing dengan budaya modernnya baru tahun 1900-an. Dengan waktu yang singkat ini sangat mungkin mereka tidak semudah masyarakat Jawa dalam penerimaan budaya modern. Kita dapat lihat keadaan Papua sekarang ini.

Menurut saya budaya Papua tidaklah perlu dirubah menjadi budaya yang modern, namun perlu adanya penambahan budaya yang lebih modern tanpa mengganggu proses dinamika budaya Papua. Perlunya mempertahankan budaya lokal ini bertujuan agar kekhasan Papua tetap terjaga dan tidak hilang begitu saja seperti budaya-budaya lokal Indonesia lain yang tertelan gelombang modernisasi. Budaya Papua janganlah sampai punah, dimana kita dapat memanfaatkan budaya lokal yang unik ini sebagai lahan dollar pemerintah dan masyarakat Papua. Dengan pengembangan potensi wisata Papua dari segi budaya Papua yang unuk dan eksotik itu. Ini bisa menjadi pilihan alternatif pengembangan kesejahteraan penduduk Papua yang sebagian besar masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.

Ada beberapa gagasan yang ingin saya paparkan sebagai alternatif solusi dalam pembangunan Papua kedepannya, pertama saya menyarankan agar dibuat master plan pembangun Papua baik pembangunan jarak pendek maupu pembangunan jangka panjang secara keterbutuahan Papua. Kedua saya lebih menyoroti pada pengembangan Papua sebagai sebuah wilayah yang modern tanpa meninggalkan budaya Papua secara persuasif. Sedangakan yang ketiga menigkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan memanfaatkan SDA Papua yang kaya.

Mengenai pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, saya berpendapat bahwa penyusunan draft rencana pembangun  tersebut jangan hanya menggunakan para ahli-ahli saja. Namun penyusuna tersebut perlu juga kiranya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari tiap kabupataen/kota di Papua. Tentunya para tokoh-tokoh masyarakat itu lebih tau kebutuhan dan keinginan masyarakat Papua. Mekanisme perumusannya ialah dari setiap tokoh di kabupaten/kota yang telah menampung aspirasi rakyat berkumpul dalam sebuah forum bersama bebrapa ahli untuk merumuskan pokok-pokok rumusan pembangunan dari kabupaten/kota tersebut. Setelah pokok-pokok rumusan dari kabupaten/kota tersebut tercapai maka perwakilan tokoh masyarakat dari tiap kabupaten/kota melakukan pertemuan dalam sebuah forum tingkat provinsi bersma ahli-ahli untuk merumuskan pokok-pokok pembangunan Papua. Dari hasil forum tingkat provinsi yang telah disepakati kemudian diajukan ke pemerintah pusat untuk digodok ulang dan disempurkan. Kenapa harus pemerintah pusat yang mengurusi, dikarenakan saya beranggapan pemerintah daerah Papua belum profesional dalam menjalankan pemerintahan yang berkerakyatan. Dimana pemerintah daerah banyak menganggurkan uang dari pemerintah pusat yang jumalahnya tidak sedikit. Hendaknya mereka memanfaatkan dana yang melimpah itu, bukannya menmbungakan uang tersebut di bank.

Membangun Papua menjadi modern tanpa meniggalkan budaya lokalnya mungkin terlihat cukup sulit dilakukan. Namun bila ada kemauan dari seluruh stakeholder maka hal itu bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Saya memiliki gagasan bahwa perlu adanya penelitian yang dilakukan pemerintah mengenai budaya dan beberapa hal dari Papua. Ini penting dalam pemebentukan konsep modernisasi Papua tanpa menghilangkan budaya lokal. Penelitian ini menurut saya hendaknya dilakukan oleh beberapa ahli antropologi, budaya, soisologi, geografi, sejarah, kedokteran, psikologi, pendidikan, dan beberapa ahli yang berhubungan. Hasil penelitian dari gabungan ahli-ahli itu dapat menjadi bahan perencanaan modernisasi Papua tanpa menghilangkan budaya lokal. Ini sangat penting mengingat kondisi Papua tentunya sangat berbeda dengan wilayah Indonesia yang lain, sehingga perlu dilakukan kajian secara mendalam.

Mengenai penigkatan kesejahteraan masyarakat dengan SDA Papua sangatlah mungkin dilakukan. Mengingat SDA Papua yang melimpah dan masih banyak yang belum diberdayakan secara maksimal. Mungkin sedikit hambatan dalam penyuluhan kepada masyarakat karena terbatsnya pendidikan masyarakat Papua. Namun hal itu dapat diatasi bila dalam penyuluhan mengenai pemanfaatan SDA itu dilakukan menggunakan adat istiadat dari setiap wilayah, serta melibatkan tokoh masyarakat setempat. Penyuluhan ini mungkin akan cukup berhasil, mengingat masyarakat Papua masih sangat mengahargai para tokoh masyarakat mereka. Perlu komunikasi intens antara pemerintah dengan para tokoh masyarakat agar tokoh masyarakat tersebut bersedia mengkomunikasikan program pemerintah tersebut.

Dari keseluruhan pemaparan solusi alternatif itu saya beranggapan bila program-program itu dijalankan dengan baik oleh semua pihak yang terkait, tidak ada kata mustahil tanah Papua akan menjadi sebuah daerah yang makmur selayaknya di Jawa. Dukungan materil dan non-materil dari pemerintah sangatlah diperlukan dalam susksesnya suatu program pembangunan. Dari pihak masyarakat sendiri juga diperlukan dalam hal dukungan dan pengawasan demi terlaksananya suatu program pembangunan yang sesuai dengan target.

Peran para sosiolog dalam pembangunan Papua sanagtlah besar. Mereka dapat nmemberikan sumbangsih dalam berbagai hal. Sosiologi sebenarnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan Papua. Pemerintah hendaknya menggandeng para Soisolog untuk membantu pemerintah dalam penyusuna rencana pembangunan di Papua. Lebih baik lagi jika pemerintah memfasilitasi para Sosiolog Indonesia untuk melakukan penelitian di Papua. Penelitian ini tidak hanya di pedalaman Papua saja, namun hendaknya dilakukan di kota-kota juga. Dimana nantinya dapat dikethui perilaku dari penduduk Papua secara keseluruhan. Jadi dalam menentukan suatu kebijakan nantinya pemerintah tidak salah sasaran dan lebih solutif.

DAFTAR PUSTAKA

Arge, Rahman. 2008. 200 Pilihan Permainan Kekuasaan. Jakarta: Kompas Media             Nusantara.

da Ir , Ans Gregory. 2008. Dari Papua meneropong Indonesia: darah mengalir di             bumi Cendrawasih: catatan dan pikiran seorang wartawan. Jakarta:        Grasindo.

Drooglever, P.J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (penerjemah: Jan Riberu). Yogjakarta: Kanisius.

Kambu, Robert Menase. 2010. Jayapura Kota di Ujung Timur: Spesifik, Eksotik,    Unik & Menarik. Jakarta: Indomedia Global.

Manangsang, Jhon. 2007. Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa,             Pergumulan: Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM dan         Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan         dialog. Jakarta: Millenium Publisher.

Widjojo, Muridan S, dkk. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Post,    Improving the Present and Securing the future. Jakarta: Yayasan Obor             Indonesia.

Yuniarti, Fandri dan Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua:         Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
-----------------------------------------------------------------------------
[1] Yuniarti, Fandri dan Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hlm 5

[2] Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan dialog. Jakarta: Millenium Publisher. Hlm 124.
Source: juwita.blog.fisip.uns.ac.id
- -

Oleh : Kornelis Kewa Ama

Jayapura, Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. Runyamnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat.

Wakil Ketua DPR Papua Paskalis Kosay di Jayapura mengemukakan, ada beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati masyarakat.

“Tidak hanya masyarakat pedalaman, tetapi para pejabat dan kaum intelektual pun memiliki noken (tas) untuk menyimpan buku dan barang kebutuhan lain,” papar Kosay beberapa waktu lalu.

Noken terbuat dari tali hutan (kayu) khusus yang tidak mudah putus, seperti rotan atau pohon lainnya. Noken mengalami perkembangan cukup bagus dibandingkan dengan fasilitas tradisional lainnya. Setelah noken dianyam, diberi warna-warni sehingga berpenampilan lebih memikat pemilik. Noken dihargai antara Rp 15.000 – 100.000 per buah.

Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.

Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.

Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.

Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur. Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber hidup utama.

Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. Batang serat (pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.

Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.

Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.

Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. Guna mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.

Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.

Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.

Pemerintah daerah setempat menganggap, noken, saly, koteka, busur panah, umbi-umbian, dan sejumlah keunikan lain di Pegunungan Tengah adalah suatu simbol “keterbelakangan”. Karena itu, tidak ada perhatian serius dari pemda setempat untuk melestarikan keunikan-keunikan tersebut. Bahkan, ada upaya pemda menghapus keunikan itu karena dinilai sebagai bagian dari ketertinggalan pembangunan.

Belum ada satu konsep terpadu bagaimana mempertahankan sejumlah keunikan ini sambil terus meningkatkan pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan di kalangan masyarakat pedalaman. Seharusnya, keunikan–keunikan Papua tidak harus dikorbankan demi pembangunan atau sebaliknya.

Pengalaman menunjukkan, ketika pemerintah menganggap bahwa makanan sagu di kalangan orang Papua tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan harus dimusnahkan, ternyata pandangan itu terbukti tidak membawa kemajuan berarti bagi orang Papua. Sejumlah lahan sagu telanjur dibasmi, tetapi pertanian modern seperti padi sawah tidak pernah dikembangkan di kalangan orang Papua sejak 40 tahun terakhir ini.

Sumber : Kompas.com
- -

Jayapura, 24/10/2013. Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua menyelenggarakan Kegiatan Apresiasi Seni Lukis Benda Museum Budaya Papua Tingkat SLTP se-Kota/Kab Jayapura Tahun 2013.


Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Museum Negeri Provinsi Papua, Jayapura Senin, 24 Oktober 2013.
Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Jayapura-Papua (BPNB Jayapura-Papua) dalam hal ini diwakili oleh Kepala Taman Budaya Papua Alosius Nafurbenan, mengatakan bahwa kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan kreatifitas siswa di bidang seni sekaligus menanamkan atau memperkenalkan seni budaya papua yang ada di Museum Negeri Provinsi Papua dan sekaligus mengajak siswa sebagai generasi muda untuk mengenal lebih jauh tentang Budayanya sendiri, sehingga diharapkan nilai-nilai budaya lokal yang dimiliki dapat berakar budaya bangsa, dan pengembangan sikap kompetitif dalam diri siswa yang berwawasan global. Selain itu juga membangun sumber daya manusia Indonesia yang mengarah ke pembentukan manusia seutuhnya dan dapat memberikan kontribusi besar pembentukan jati diri yang berakar pada budaya bangsa.

Kegiatan ini melibatkan Peserta sebanyak 100 siswa SMP dengan 12 pendamping. Dalam kegiatan Apresiasi Seni Lukis Benda Museum Budaya Papua, peserta di ajak melihat langsung benda-benda budaya koleksi Museum Negeri Provinsi Papua dan selanjutnya ditungakan dalam lukisan yang dibuat. Dari hasil lukisan-lukasan yang buat oleh siswa-siswi ini dinilai oleh beberapa juri antara lain Drs. Paul Yaam (Mantan kepala Museum), Sukardi (Mantan pegawai Museum) dan Theo Yepese (Budayawan). Pemenang Apresiasi Seni Lukis Benda Museum Budaya Papua mendapatkan hadia yang disediakan oleh panitia berupa, Tropi, piagam dan Tabanas. Yang keluar sebagai juara pertama dalam kegiatan ini adalah Gergorius Don Borys siswa dari SMP YPPK Bona Ventura Sentani dengan hasil lukisan kulit kayu yang merupakan budaya khas Tanah Tabi.

source: www.kebudayaan.kemdikbud.go.id
-