Kata KOTEKA berasal dari salah satu suku di Paniai, artinya ‘pakaian’. Di Wamena koteka disebut holim. Ada berbagai jenis ukuran koteka, tergantungbesar kecilnya kondisi fisik pemakai. Tetapi, besarnya koteka juga sering hanya sebagai aksesoris bagi si pemakai. Tidak ada literatur yang menyebutkan, sejak kapan suku- suku asli Papua mengenakan koteka. Sejak petualangan bangsa Eropa datang ke daerah itu, kaum pria dari suku–suku di Pegunungan Tengah (Jayawijaya, Puncak Jaya, Paniai, Nabire, Tolikara, Yahokimo, dan Pegunungan Bintang) sudah mengenakan koteka. Keterampilan membuat koteka diperoleh secara turun temurun bagi kaum pria.
Seorang laki-laki ketika menginjak usia 5-13 tahun harus sudah mengenakan koteka sebagai busana pria. Dan itu ditandai dengan mengadakan upacara adat untuk pemasangan koteka. Pria seperti ini yang menutup bagian alat kelamin mereka dengan kulit labu ini sering disebut “manusia koteka”, atau sering pula disebut masyarakat koteka.
Ada tiga pola penggunaan koteka, yaitu tegak lurus: menandakan bahwa pemakainya adalah “pria sejati”. Makna simbolik lainnya mengisyaratkan, pria yang memakainya masih perjaka, belum pernah melakukan persebadanan. Miring ke samping kanan: simbol kejantanan, bermakna bahwa penggunanya adalah pria gagah berani, laki-laki sejati, pemilik harta kekayaan yang melimpah, memiliki status sosial yang tinggi atau mempunyai kedudukan sebagai bangsawan. “Kanan” menandakan kekuatan bekerja, keterampilan memimpin, dan pengayom rakyat. Miring ke samping kiri: bermakna pria dewasa yang berasal dari golongan menengah dan memiliki sifat kejantanan sejati. Juga menunjukkan pemakainya adalah keturunan Panglima Perang (apendabogur). Integrasi Papua ke dalam NKRI pada 1962 merupakan satu titik balik kehidupanmasyarakat koteka. Pertemuan para pejabat dari Jakarta dengan masyarakat koteka waktu itu merupakan pertemuan dua budaya yang berbeda, yakni Melanesia dan Polinesia.
Koteka merupakan suatu keterampilan yang unik, yang hanya dimiliki oleh suku pedalaman masyarakat di Papua, dimana Koteka merupakan pakaian adat yang digunakan pada saat belum dikenalnya Celana.digunakan untuk menutupi (maaf) Kemaluan Laki-laki.
Asal Usul
Koteka terbuat dari kulit Labu Air. cara pembuatanya dengan mengeluarkan isi dan biji labu yang sudah tua, dan kulitnya di jemur. kata Koteka secara harfiah, bermakna Pakaian, berasal dari bahasa salah satu suku di Kab.Paniai. sebagian Suku pegunungan Jayawijaya menyebutnya hilom atau horim
Banyak Suku yang dapat dikenali dengan cara mereka menggunakan koteka, untuk koteka yang pendek digunakan saat bekerja dan yang panjang dengan atribut hiasan, digunakan pada saat melaksanakan upacara adat, namun setiap suku memiliki perbedaan bentuk Koteka, misalnya Suku Yali, memiliki bentuk labu yang panjang, sedangkan masyarakat Tiom biasanya memakai dua labu.
Orang Mee menyebutnya bobbe. Bobbe biasanya di tanam di kebun atau di halaman rumah. Proses pembuatannya, bobbe dipetik (biasanya yang sudah tua) kemudian dimasukkan kedalam pasir halus. Di atas pasir halus tersebut dibuat api yang besar. Setelah panas kulit bobbe akan lembek dan isinya akan mencair, lalu biji-biji beserta cairan akan keluar dari dalam ruas bobbe. Setelah itu, bobbe digantung (dikeringkan) di perapian hingga kering. Setelah kering dilengkapi dengan anyaman khusus dan siap pakai sebagai koteka.
Di tahun 1950, Misionaris yang datang ke Papua, telah mengkampanyekan penggunaan celana sebagai pengganti Koteka, namun usaha itu tidak sepenuhnya berhasil, karena Suku Dani dilembah baliem saat itu masih ada yang menggunakan Koteka, hingga memasuki tahun 1960 Pada masa Pemerintahan RI, kampanye penggunaan celana terus di suarakan, namun belum berdampak signifikan.
Memasuki Tahun 1971 melalui Gubernur Frans Kaisepo, kampanye anti koteka di gelar, pada masa ini di kenal sebagai "operasi koteka", dengan cara membagi-bagikan Pakaian kepada penduduk, namun operasi itu berdampak pada penyakit kulit yang menyerang warga, dikarenakan tidak adanya sabun untuk mencuci pakaian.
Di Tahun - tahun berikutnya pemakaian Koteka pada Masyarakat penggunungan Papua semakin berkurang, itu dikarenakan perkembangan hidup modern, dan telah banyaknya laki-laki penggunungan papua yang terpelajar, Penggunaan Koteka pada saat ini, masih dapat di Jumpai ketika berlangsungnya Upacara Adat, namun tidak menutup kemungkinan penggunaan Koteka akan semakin tersisihkan.
Berita
Mendaftarkan Koteka sebagai warisan Budaya tak benda ke Unesco, yang merupakan usulan dari Balai Penelitian Arkeolog Jayapura, Papua, adalah tindakan yang tepat, untuk mengupayakan Budaya Papua yang juga harus memiliki Payung Hukum, dengan begitu peninggalan sejarah Budaya tidak musnah, namun bisa menjadi ingatan sejarah masa lampau yang akan menjadi bagian dari ilmu pendidikan yang mengulas tentang sejarah kehidupan sosial budaya masyarakat Papua pada jaman sebelum modern.
Kesimpulan
Setelah mengetahui Sejarah dan Fungsi Koteka dalam kehidupan masyarakat Papua, penulis tidak menemukan Filosofi yang terkandung dalam koteka itu sendiri, namun penilain-nya lebih kepada unsur seni dan keterampilan. Di jaman modern ini, Koteka yang semakin tersisih, akan fungsinya memang patut untuk tetap di lestarikan dengan cara - cara mengalih fungsikan Koteka tanpa meninggalkan nilai - nilai yang terkandung di dalamnya. Koteka bisa digunakan sebagai media melukis dan souvenir bagi wisatawan, selain itu, dengan melestarikannya sama juga menghargai seni dan keterampilan warga setempat.
Koteka merupakan aset budaya bangsa, sekalipun di era yang modern nanti Koteka telah memiliki fungsi lain, namun tetap menjadi bagian dari kebudayaan yang tak boleh dilupakan, dengan terus melestarikan kebudayaan, sama juga telah menjaga aset budaya yang memiliki nilai - nilai leluhur didalamnya dan tidak hilang di tengah perkembangan jaman.
source:dikadarmawan.blogspot.com
Tidak ada komentar
Posting Komentar