Select Menu

Slider

clean-5

Total Pageviews

Hukum dan Kriminal

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos

Ilustrasi@umaginews.com

PANIAI (UMAGI)-- GriliawanTentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka  (TPN-OPM) Wilayah Paniai melawan Aparat Gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesi (TNI-POLRI) Dua anggota TNI dari Batalyon 753  mengalami luka tembak akibat diserangan tersebut.

Menurut  Tpn-Opm melalui Pernyataannya Sikap menyataan bahwa kami siap melawan Kolonial Indonesia sampai dunia Kiamat, disampaikan oleh Pimpinan Tpn-Opm wilayah Paniai ( Jhon M Yogi). Kami berjuang bukan soal makan dan minum tapi tujuan utama Perjuangan kami demi  merebut Kedaulatan Negara West Papua.

Mereka juga menyatakan bahwa Kemerdekaan Ialah hak segala Bangsa, maka Indonesia segarah Mengakuinya kedaulatan Negara kami yakni Negara West Papua. (www.edudanews.blogspot.com)

Menurut Informasi dari warga  sipil setempat Mengatakan   bahwa terjadi saat tim gabungan mengawal pengiriman logistik pilkada ke Distrik Kebo.  Tim gabungan Tni-Polri yang menggunakan  tiga Speed Boat dari  Enaro ke distrik Paniai Utara kebo  pada Kamis (11/10) siang, di kali Waneuwo di hadang oleh Pasukan Giriliawan  Pejuang Kemerdekaan Papua Merdeka (Tpn-Opm). melalui Sms singkat.

Saat rombongan yang menggunakan tiga speedboat memasuki muara sungai Kebo, tiba-tiba TPN/OPM menyerang dengan menembaki iringan speedboat yang dinaiki anggota Tni-Polri. Akibat serangan TPN/OPM,  kata Kapolres Paniai, AKBP Anthon Diantje kepada ANTARA, dua anggota TNI terluka serta satu speedboat tenggelam. Menurutnya, serangan TPN/OPM itu dibalas anggota sehingga terjadi kontak senjata dan rombongan berupaya kembali ke Enarotali.

Kedua anggota Yon 753 itu masing masing Praka Aris mengalami luka tembak di tangan dan kaki. Sedangkan Praka Arisoni Wembi mengalami luka tembak ditangan dan saat ini masih ditangani tim medis RSUD Paniai. (www.mertrotvnews.com)

Kemudian Tni-Polri Marah dan menembakki perahu Jonzon Milik Masyarakat Sipil daerah Aikai Enarotali. masayarakat yang sedang berlabu di palabuhan Aikai Enarotali mengakibatkan jonson berlubang sebanyak  tiga Mesin perahu jonsonn yang rusak ditembaki. Di lanjut Warga sipil Bobaigo Ibu Kota Enarotali di Tangkap tanpa alasan Jelas masing-masing mereka masih di tahan di Kantor polisi guna mintah keterangan. (www.tabloidjubi.com)

Tni-Polri juga penyisiran brutal di sekitar kota enarotali. Kini kota Enarotali dan Madi sepih. Warga sipil sedang mengungsi ke kampung-kampung dan ke hutan. Perahu dan janson milik masyarakat dihancurkan oleh TNI-POLRI. Korban  dan kerugian material lain belum diketahui. (Un/Ag)

Sumber: umaginews.com
- - -
Film-Dokumenter: ALKINEMOKIYE [From Struggle Dawns New Hope]


Avatar Versi Amungme

Film dokumenter berjudul “ALKINEMOKIYE” bercerita tentang perjuangan buruh dan pensiunan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. Nama Alkinemokiye diadopsi dari bahasa asli suku Amungme yang berarti ‘usaha keras demi kehidupan yg lebih baik’ (From Struggle Dawns New Hope). Amungme merupakan suku terbesar di Timika, Papua.
Dalam film ini, dikisahkan tentang sebuah tambang emas terbesar di dunia namun karyawannya sendiri tidak hidup sejahtera, mereka tinggal di rumah berdinding papan kayu dengan jendela tanpa kaca. Tidak heran jika warga di sekitar perusahaan tersebut masih ada yang kelaparan dan kesulitan BBM, bahkan pensiunan karyawannya hanya diberi janji-janji palsu. 15 tahun mereka melawan lewat pengadilan hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa surat pensiun mereka ternyata tidak bisa digunakan untuk mengklaim uang pensiun. Beberapa pensiunan lainnya ada yang pasrah dengan nasib mereka, sampai menggadaikan rumah untuk dijadikan modal usaha, misalnya warung kecil.
Film “Alkinemokiye” banyak memuat informasi ‘panas’. Ditambah lagi dengan beberapa adegan kekerasan, seperti konflik bersenjata antara Polisi vs warga Papua, penembakan mobil-mobil sipil yang melintas, hingga acara deklarasi kemerdekaan rakyat Papua. Sehingga pihak Polda Ubud melarang penayangan film ini dalam acara “Screen Below The Wind Festival” di Ubud, Bali, pada 16 November 2012 lalu. Dan itu belum ditambah kemungkinan adanya instruksi dari beberapa pihak yang merasa ‘gerah’ jika film ini sampai menyebar ke masyarakat luas.[1]

 Pelarangan ini dilakukan oleh polisi dari Polda Ubud yang langsung berjaga di sekitar tempat SBWFestival berlangsung. Meskipun keadaan festival film dokumenter se-ASEAN itu sempat menjadi tegang, akhirnya acara bisa dilanjutkan hanya dengan diskusi bersama sutradara film dokumenter Alkinemokiye, Dandhy Dwi Laksono. Bisa jadi karena kedatangan dan pencekalan polisi juga, Film Alkinemokiye akhirnya menjadi film dokumenter terfavorit dalam acara SBWFest, meski tidak diputar di sana. Simak juga liputannya di TempoTV.
Alhamdulillah sutradara film ini, Dandhy Dwi Laksono, sudah menguploadnya ke Youtube sehingga kita bisa bersama-sama menyaksikan film ini dengan mudah. Mari sejenak kita nonton bareng film ini secara penuh dengan durasi 60 menit 10 detik.

Fight For Freedom,
Iwan Yuliyanto

Read more about this post @  iwanyulianto.wordpress.com 



Berhubung Videonya terlalu berat kalau diunggah disini jadi saya kasih link Youtube saja  buat teman-teman yang mau lihat DISINI .

Sungguh, Avatar versi Papua hanya saja akhir film avatar happy ending, tidak tahu ending masyarakat Papua bagaimana akhirnya.
- - -

oleh: I Ngurah Suryawan
“Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun ada orang yang memiliki kepandaian tinggi, akal budi, dan marifat, tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini. Bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri” (Pdt. I. S Kijne tentang masa depan rakyat Papua Barat di Wasior Manokwari, 25 Oktober 1925)
Dr. Benny Giay (via Yoman 2005) mengungkapkan pernyataan yang sangat tajam. Setelah “menganeksasi” Papua Barat, Pemerintah Indonesia memperkenalkan sejarah Indonesia dan menggiring orang Papua untuk menerima sejarah Indonesia sebagai sejarahnya. Proses pemaksaan sejarah dimutlakkan karena menjadi bagian dari semangat Indonesiasisasi terhadap rakyat Papua.
Sejarah rakyat Papua “dihilangkan” melalui beragam cara. Jika rakyat Papua berbicara tentang sejarahnya dianggap separatis, berbahaya dan patut diwaspadai. Pembersihan, penghapusan, dan peminggiran sejarah rakyat Papua dilakukan untuk membangun konstruksi bahwa Bangsa Papua tidak mempunyai sejarah, dan Indonesia lah yang datang sebagai mesianistik yang membawa barang yang bernama “sejarah” bagi Bangsa Papua.
Sejak tahun 1961-1962 (mulainya pemerintahan peralihan PBB-UNTEA) hingga pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 14 Juli-2 Agustus 1969, menjadi momen krusial perdebatan status politik terhadap Tanah Papua. Di dalamnya terdapat silang sengkarut dan klaim sejarah yang menyesatkan yang tidak hanya melibatkan Pemerintah Indonesia, namun juga kepentingan internasional.
Pasca Pepera 1969 inilah proses Indonesianisasi berlangsung kencang di Tanah Papua. Beragam program pembangunan diintrodusir dengan meminggirkan pengalaman dan nilai-nilai sosial budaya rakyat Papua. Sistem sentralistik dan top down menyebabkan Tanah Papua hanya menjadi objek pembangunan, hal yang sama juga terjadi di setiap daerah di Indonesia semasa rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Diskriminasi berlapis juga terjadi karena Papua bukan hanya jauh sejarah geografis, sebagai daerah paling timur di Indonesia, tapi juga “jauh” secara kultural.
Essay singkat ini mendiskusikan dua poin penting. Pertama, perdebatan cara pandang dalam gerakan sosial “nasionalisme” Bangsa Papua dan kedua, gerakan historiografi subaltern melalui buku-buku yang diterbitkan oleh cendekiawan-cendekiawan Bangsa Papua. Menjamurnya publikasi ini menjadi semacam bentuk perspektif pengalaman rakyat dalam kerangka besar gerakan sosial Bangsa Papua untuk menulis sejarah bangsanya sendiri.

Kompleksitas Status Politik dan “Nasionalisme” 
Kompleksitas perdebatan status politik integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia hingga kini menjadi perdebatan tanpa henti. Rakyat Papua beranggapan proses integrasi dan Pepera 1969 menjadi salah satu contoh bagaimana “manipulasi” sejarah yang dilakukan Indonesia merebut Tanah Papua, memompa serta memaksakan nasionalisme Indonesia dan memadamkan sejarah lokal di Papua yang penuh dengan dinamika dan heterogenitas. Indonesia memaksakan nasionalisme yang menyatakan bahwa Papua adalah bagian dari wilayah NKRI dengan berbagai macam upaya dari manipulasi hingga intimidasi tanpa henti hingga kini.
Klaim Indonesia terhadap Papua berdasar pada legitimasi hukum PBB yang mengesahkan Pepera 1969 dan menyatakan Papua bergabung ke Indonesia. Namun, pengalaman rakyat Papua dan beberapa klaim penelitian menyebutkan pelaksanaan Pepera 1969 penuh dengan rekayasa dan intimidasi, atau hanya sebagai lelucon. Integrasi Papua ke Indonesia hanya sebatas integrasi wilayah, politik, ekonomi, dan keamanan.
Integrasi Papua Barat ke dalam wilayah NKRI dilakukan melalui proses yang tidak benar dan tidak adil. Masalah Papua ini masalah sejarah integrasi yang tidak benar. Masalah status politik rakyat Papua yang dikhianati, diabaikan dan dihilangkan. Masalah pelanggaran HAM yang sampai saat ini masih berlangung. Masalah kegagalan pembangunan di Tanah Papua karena pembangunan di Tanah Papua dilaksanakan dengan curiga dan pendekatan keamanan yang berlebihan. (Yoman, 2010: 104-105) Bayangan akan sebuah negara Papua Barat yang merdeka sulit untuk dipadamkan hingga kini. Saya kira jika kita jujur membuka hati terdalam rakyat Papua, bayangan akan negara yang merdeka dan berdaulat tidak akan pernah mati oleh apapun. Beberapa catatan sejarah menguatkan bayangan memiliki negara sendiri ini. Pada 5 April 1961, dengan bantuan Pemerintah Belanda, telah dibentuk sebuah dewan rakyat, Nieuw Guinea Raad, dengan memilih orang-orang Papua duduk di parlemen untuk merancang dan melaksanakan sebuah negara merdeka. Pada 19 Oktober 1961, Dewan Rakyat Papua ini melaksanakan Kongres Nasional I Papua di Hollandia (kini Jayapura) dengan hasil menetapkan lagu kebangsaan adalah “Hai Tanahku Papua”, bendera nasional adalah “Bintang Kejora” dan nama resmi negara adalah “West Papua”. Hari kemerdekaan diputuskan pada 1 Desember 1961.
Lebih daripada itu, “nasionalisme” Papua terkonstruksi oleh beberapa faktor. Pertama, kekecewaan sejarah terhadap proses integrasi ke Indonesia. Kedua, elite Papua yang merasakan persaingan dengan pejabat-pejabat Indonesia sejak penjajahan Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan yang timpang dan semakin menunjukkan perasaan berbeda (sense of difference). Keempat, banyaknya pendatang ke Papua yang mendominasi kehidupan ekonomi politik yang semakin memperbesar perasaan termarginalisasi orang Papua di daerah sendiri (Chauvel 2005; Widjojo dkk, 2009: 9).
Perspektif lainnya yang saling melengkapi mengungkapkan bahwa “nasionalisme etnik” Bangsa Papua lahir selain memang ada kesadaran akan etnik Papua, juga karena resistensi terhadap kekuasaan rezim otoritarian Orde Baru dan permainan relasi kekuasaan internasional terhadap Papua. Di bawah Orde Baru, untuk pertama kali dalam sejarah, Papua mengalami suatu kolonialisme yang bukan cuma menyerap sumber daya alam ke wilayah lain, tapi juga memperkenalkan pembantaian manusia oleh aparat negara. Dalam kaitan itu, ada permainan dunia internasional terhadap Papua. Yang terakhir ini merujuk pada peranan Belanda, Indonesia, PBB dan Amerika Serikat yang akhirnya melahirkan kompromi Perjanjian New York 1962 dan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 1969. Amerika, dengan obsesi Perang Dingin kala itu, membantu Presiden Soekarno menuntut hak atas Irian Barat. Indonesia yang sudah mendapat angin ketika itu dengan bebas merekayasa dan memanipulasi Pepera 1969 dengan memperdaya 1026 wakil Papua.
(Dokumentasi: I Ngurah Suryawan)
Resistensi terhadap baku tipu (tipu muslihat) itulah yang kemudian disuarakan oleh Bangsa Papua melalui berbagai bentuk ekspresi demonstrasi, protes, dan penulisan sejarah pengalaman dan kekerasan yang mereka alami. Oleh negara (baca: pemerintah Indonesia), sejarah pengalaman rakyat Papua selalu dilekatkan menjadi sebuah kata yang begitu sakti yaitu: separatis. Segala macam ekspresi identitas ke-Papua-an selalu dikambinghitamkan menjadi gerakan ekstrimis, pro-merdeka dan dikaitkan dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka). Padahal dibalik historiografi kambing hitam terhadap Papua, sebaiknyalah kita menengok sejarah panjang Papua masuk menjadi bagian NKRI. Di dalamnya penuh pergolakan antara Belanda dan Indonesia.
Nasionalisme dan historiografi Papua pada akhirnya adalah pentas ketegangan antara Indonesia dan Belanda yang tidak melibatkan sama sekali rakyat Papua. Penulisan historiografi Papua juga didominasi para nasionalisme Indonesia yang menyingkirkan nasionalisme ke-Papua-an yang merupakan identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman kolonial Belanda juga dengan kepentingannya untuk mempertahankan kekuasaannya. Identitas ke-Papua-an pada pengalaman masa kolonial inilah yang dikonstruksi sebagai antitesis nasionalisme ke-Indonesia-an oleh rakyat Papua. Nasionalisme ke-Indonesia-an yang diterapkan di Papua bernafaskan militeristik. Ini diterjemahkan melalui DOM (Daerah Operasi Militer) maupun rangkaian panjang kekerasan dan kebiadaban yang menimpa rakyat Papua sebagai bentuk dehumanisasi, tidak menganggap rakyat Papua sebagai manusia. Nasionalisme Indonesia menyatakan harga mati untuk NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Tapi, di balik “politik NKRI” dan nasionalisme, terkandung nafas militerisme yang kemudian merespon protes rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang memarginalalkan mereka, yang membuat kitorang tra maju-maju (kita rakyat Papua tidak maju-maju) dengan pendekatan keamanan dan kekerasan. Beberapa kasus penyiksaan aparat terhadap rakyat Papua menjadi contoh yang gamblang dan disaksikan publik dengan jelas. Kekerasan politik dengan pendekatan keamanan ini justru sering diklaim oleh pihak militer sebagai usaha mulia untuk mempertahankan keutuhan NKRI melawan kelompok separatis yang ingin keluar dari NKRI. Historiografi Papua pada akhirnya menjadi legitimasi negara Indonesia plus narasi heroik dan patriotik dari militer.

Gerakan Historiografi Subaltern Bangsa Papua 
Pasca reformasi 1998, pentas gugatan dan kritik “historiografi sang kuasa” menjadi wajah segar sejarah Indonesia sekaligus juga menghentakkan sejarawan akademik Indonesia dari tidur panjangnya. Sejarawan akademik di universitas yang selain menjadi “tukang catat sejarah negara” juga selalu digugat kontribusinya sosialnya dan pada pengembangan ilmu sejarah sendiri menjadi lebih beragam dan kritis. Universitas dan sejarawan akademik yang kaku dengan sumber sejarah dan relasinya dengan pusat-pusat kekuasaan hanya menghasilkan karya-karya akademik yang tidak membumi dan tidak memberikan perspektif baru dalam historiografi Indonesia.
Roosa dkk (2004) dengan mengajukan metode sejarah lisan (oral history) menganggap telah terjadi perluasan dan pengayaan pada ilmu sejarah sendiri. Data-data dibangun dari bawah, bukan sekadar pada arsip dan dokumen-dokumen. Dengan demikian sejarawan menjadi membumi, tidak hanya berkutat dengan dokumen semata. Sejarawan pada akhirnya merujuk pada masalah sosial yang terjadi lingkungannya. Dengan demikian, melakukan historiografi bagi sejarawan bukan hanya sekadar melaksanakan proyek penelitian, menulis tesis atau desertasi, namun ada keharusan untuk terlibat penuh dalam masalah moral, kultural dan politik ketika hendak menulis sejarah.
Seiring dengan pentas gugatan “historiografi sang kuasa”, di Papua-pun pun kini telah tumbuh subur dengan hadirnya sejarah lokal, sejarah kekerasan, pertarungan ekonomi politik, dan nasionalisme ke-Papua-an. Berbagai aspek terkait dengan kekerasan dan kejahatan HAM, eksploitasi sumber daya alam, gerakan perempuan, otonomi khusus, pemekaran wilayah menjadi tema-tema kajian sosial dan sejarah Papua.
Publikasi buku-buku menggugat status politik, sejarah kekerasan dan diskriminasi Bangsa Papua, monografi penelitian, dan laporan kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua menjadi beberapa bahan penting untuk melihat gejolak rakyat Papua yang dalam proses untuk menuliskan sejarah mereka sendiri. Karya-karya intelektual Bangsa Papua seperti Sendius Wonda, Socratez Sofyan Yoman, Sem Kroba, Dr. Nales Tebay, Dr. Beny Giay, hingga Ibrahim Peyon dan yang lainnya menjadikan pergolakan intelektual dan aktivisme di tanah Papua semakin menyegarkan. Ada sesuatu yang rakyat Papua inginkan terhadap legitimasi ke-Indonesia-an yang selama ini dilekatkan pada mereka secara sepihak oleh nasionalisme Indonesia. Historiografi akan menjadi lebih demokratis, beragam, dan kritis jika kita menyimak kisah-kisah, protes, dan kepedihan rakyat Papua karena kejahatan negara di daerah kelahiran mereka sendiri. Dengan demikian, historiografi salah satunya dengan oral history akan membongkar kejahatan negara dalam bentuk sistematisasi kekerasan dan pelenyapan sejarah rakyat Papua.
Saya kira, gerakan menulis sejarah sendiri ini mendapatkan konteksnya dalam bingkai gerakan pembebasan subaltern studies dan penciptaan “gerakan kebudayaan revolusioner” seperti diungkapkan oleh Franz Fanon. Saya akan mencoba mendiskusikan kedua gerakan sosial ini sembari merefeksikan konteksnya di Tanah Papua.
Subaltern studies adalah sebuah gerakan sosial pasca kolonial di India yang bertujuan untuk menuliskan ulang sejarah sosial budaya India. Gerakan ini memberikan ruang sebesar-besarnya terhadap kelompok marginal, yang dikalahkan, terpinggirkan dan “kalah” dalam narasi sejarah yang dibuat oleh kekuasaan. Gerakan subaltern studies ini tergabung dalam kelompok intelektual India kritis yang sering disebut denganSubaltern Studies Group. Adalah Ranajit Guha dan Gayatri Chakravorthy Spivak, intelektual India yang kemudian mengambil dan mengembangkan gagasan Antonio Gramsci, seorang marxis Italia, tentangsubaltern untuk menulis ulang sejarah India. Ranajit Guha mengatakan bahwa sejarah dominan tentang nasionalisme India tidak menyertakan kelompok-kelompok subaltern dan kelompok-kelompok pekerja dan lapisan menengah di kota dan di desa, yaitu rakyat. Yang dimaksud Guha dengan subaltern adalah “mereka yang bukan elite” dan yang dimaksud elit adalah “kelompok-kelompok dominan, baik pribumi maupun asing”. Yang asing adalah pejabat-pejabat Inggris dan para pemilik industri, pedagang, pemilik perkebunan, tuan tanah, dan misionaris. Yang pribumi dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang beroperasi di tingkat nasional (pengusaha feodal, pegawai pribumi di birokrasi tinggi) dan mereka yang beroperasi di tingkat lokal dan regional (anggota kelompok-kelompok dominan).
Dalam masyarakat pascakolonial, suara-suara masyarakat tertindas dalam kelas subaltern terfragmentasi, berlapis-lapis dengan layer-layer yang kompleks. Suara-suara subaltern tersebar dalam subjektivitas-subjektivitas manusia dan pengalaman sejarahnya. Dalam studi pascakolonial, identitas-identitas dan subjektivitas-subjektivitas manusia itu berubah dan terpecah-pecah. (Loomba, 2003)
Dalam konteks gerakan sosial di Tanah Papua, saya kira penulisan sejarah dari bawah oleh sebagian besar intelektual Papua, terkait dengan pengalaman dan gugatan terhadap “sejarah resmi” (baca:konstruksi negara) sepantasnya diapresiasi. Sejarah aneksasi dan gugatan integrasi tentu tidak akan didapat dalam Pelajaran Sejarah Nasional Indonesia. Begitu juga sejarah kekerasan dan pelanggaran HAM tidak mungkin akan mendapatkan tempatnya. Yang mungkin akan muncul adalah gambaran “tribal” dan “terkebelakangnya” rakyat Papua dengan ikon koteka yang dianggap lebih rendah dari kebudayaan Indonesia yang katanya adiluhung. Gambaran ini biasanya dilukiskan dalam etnografi suku-suku terasing atau pelajaran suku-suku di universitas dan sekolah-sekolah yang bias, menyesatkan dan juga sangat berperspektif kolonial.
Saya kira, kini saatnya gerakan sejarah subaltern Bangsa Papua hadir ke permukaan menjadi suara gugatan. Ekspresi ini juga menjadi medium untuk menegakkan identitas Bangsa Papua di tengah desakan interkoneksi global melalui penetrasi perusahaan multinasional dan tipu muslihat politik lokal yang menghimpit. Di dalamnya gerakan kebudayaan revolusioner bertumpu pada modal dasar orang Papua dan refleksi kritis budaya asli Papua menuju pada pembebasan dari kemiskinan dan ketertindasan.

Refleksi: Membaca Gerakan Sosial Papua 
Di akhir tulisan ini, ada baiknya saya sarikan pemetaan perspektif awal yang diuraikan oleh Aditjondro (2000: 49-56) dalam melihat dinamika gerakan sosial yang terjadi di Tanah Papua. Pertama, yang melihat Bangsa Papua tidak punya kebudayaan. Pengingkaran keberadaan kebudayaan penduduk asli juga dapat digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan lain untuk melecehkan penduduk asli dengan sangat kejam, walaupun tanpa membunuh mereka. Kedua, faham hirarki kebudayaan, dimana kebudayaan-kebudayaan Papua yang sesungguhnya sangat majemuk ditempatkan di anak-anak tangga terbawah. Faham ini sangat jelas meremehkan kebudayaan sudah mengakar kuat di Tanah Papua. Ketiga, reaksi “asmilasi bersyarat” dalam arti cendekiawan maupun rakyat Papua yang mengadopsi kebudayaan Barat yang berlomba-lomba mengolah kekayaan alam Papua sama halnya dengan para pendatang dengan semangat kapitalis yang sama. Rakyat Papua sendiri juga menerapkan faham hirarki kebudayaan terhadap masyarakatnya (Papua) sendiri. Keempat, bentuk pelarian ke masa lalu di kalangan cendekiawan dan rakyat Papua dengan pengukuhan identitas ras (baca: Melanesia) dan agama dominan (baca: Kristen) menghadapi arus pendatang dari daerah lain di Indonesia. Kelima, gerakan sosial untuk menciptakan “kebudayaan revolusioner” yang secara terfokus berkiblat pada pembebasan penduduk asli Papua yang sayangnya belum banyak dilakukan hingga kini.
Beragam perspektif yang diungkapkan oleh Aditjondro (2000) menjadi refleksi yang mendalam dan saya kira masih relevan hingga kini dalam melihat gejolak sosial politik di Tanah Papua. Rangkaian panjang diskriminasi kebudayaan, ingatan mendalam kekerasan dan pelanggaran HAM, baku tipu gula-gula Otonomi Khusus antara elit lokal dan rakyat Papua, hingga gerakan pembebasan Bangsa Papua terjadi silang sengkarut yang mewarnai dinamika gerakan sosial di Tanah Papua.
Refleksi terdalamnya saya kira adalah soal kemanusiaan, soal keterbukaan hati dalam relasi humanisme yang bermartabat. Sudah saatnya Rakyat Papua mendapatkan haknya, kebebasan menyuarakan aspirasinya, mengekspresikan dirinya dalam catatan historiografi “pengalaman mereka” untuk membongkar rekayasa dan manipulasi terhadap diri mereka. (© INS, Mei 2011)
 
DAFTAR PUSTAKA
Aditjondro, George Junus. 2000. Cahaya Bintang Kejora: Papua Barat dalam Kajian Sejarah, Budaya, Ekonomi, dan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Elsam.
Chauvel, Richard. 2005. Consctructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaptation. Washington: East-West Center.
Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang.
Roosa, John, Ayu Ratih dan Hilmar Farid (Editor). 2004. Tahun yang Tak Pernah Berakhir, Memahami Pengalaman Korban 65, Esai-Esai Sejarah Lisan. Jakarta: Elsam, Tim Relawan untuk Kemanusiaan, Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Yoman, Socratez Sofyan. 2005. Orang Papua Bukan Separatis, Makar dan OPM. Papua Barat: Lembaga Rekonsiliasi Hak-hak Asasi Masyarakat Koteka (Lehamkot) Papua Barat.
Yoman, Socratez Sofyan. 2010. Integrasi Belum Selesai: Komentar Kritis atas Papua Road Map. Jayapura: Cenderawasih Press.
Widjojo dkk, Muridan. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Past and Securing the Future. Jakarta: Buku Obor, LIPI dan TIFA.
Orang Papua"

Source : ETNOHISTORY
- - -
Gambar; illustrasi/ fb

PANDANGAN UMUM

Tanah Papua adalah salah satu wilayah sengketa politik yang terus bermasalah sejak tahun 1960-an sampai sekarang (2013). Sengketa politik yang terjadi disana antara Indonesia, Belanda, West Papua, dan Amerika Serikat dengan latar belakang yang berbeda-beda.
Indonesia mencaplok Papua dengan latar belakang Kepentingan Ekonomi Politik, sedangkan Belanda hanya ingin mewujudkan Politik Etis atas papua sembari mengerok hasil alam disana (Minyak Bumi), sedangkan West Papua adalah mewujudkan cita-cita HAM yang menjadi Hak mereka (mendirikan negara merdeka yang telah diproklamirkan pada tanggal 1 Desember 1961), sedangkan kehadiran Amerika Serikat murni dipicu atas kepentingan Ekonomi yang diwujudnyatakan dengan eksploitasi PT. Freeport Mc Morand and Gold Copere (PT. Freeport Indonesia).
Berdasarkan latar belakang masing-masing dapat diukur siapa sebenarnya yang wajib dihargai kehendaknya, dan juga dapat disimpulkan siapa sebenarnya yang bertanding atas dasar kerakusan dan keserahkaan tanpa dasar yang jelas (Perang Atas Kerakusan). Disamping itu melaluinya juga mampu menunjuk secara jelas tindakan Kolonialisme dan Penjajahan atas Tanah Papua berdasarkan maotifasi pihak non papua diatas.
Dalam rutinitasnya Indonesia memandang semua sikap dan tindakan orang papua untuk menunjukan eksistensi Hak Asasi Manusia dengan kaca mata politik sehingga pendekatannya diwujudkan dengan pendekatan Militeristik yang sudah, sedang, dan akan terus dipraktekkan disana sejak tanggal 19 Desember 1961 (peluncuran TRIKORA). Pemahaman itu juga diwujudkan melalui sistim pemerintahannya sehingga banyak sekali Tokoh Politik Papua Merdeka yang dihukum dengan UU Subversi (1960-1998), serta Pasal Makar pada KUHP dan UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api.
Semua tindakan Indonesia itu hanya semakin menjelaskan posisi persoalan di Papua merupakan Konflik Politik atau Sengketa Politik atau mungkin dapat disimpulkan bahwa sedang terjadi Pertarungan Politik antara Indonesia (penjajah), dan Rakyat West Papua yang berkepanjangan tanpa hentinya.
Pertarungan politik ini telah melahirkan sekian pelanggaran HAM Berat dikedua belah pihak yang berkepanjangan, dan telah meraup jumlah korban yang banyak, serta pengurasan dana negara untuk mendukung kebutuhan diatas. Dampak akan pertarungan tersebut sangat menyedikan dan terkesan tidak manusiawi, sebab telah mampu menciptakan suasana yang tidak kondusif disana sehingga kebebasan rakyat sipil papua semakin sempit, bahkan terkadang berujung pada penembakan terhadap rakyat sipil papua hanya untuk menebus dendam Militer Indonesia, melalui tindakan itu telah meninggalkan rasa duka yang mendalam dipihak keluarga yang ditinggalkan korban masing-masing pihak yang hanya membakar terus api semangat untuk saling membalas.
Pada prinsipnya dampak pertarungan politik antara Indonesia dan West Papua telah melahirkan korban dikedua belah pihak, terkait jumlah bisa sama ataupun berbeda sebab secara objektif peralatan pendukung pertarungan politik ini sangat berbeda mulai dari alat perang, dasar legal, kebebasan, dan jumlah anggota masing-masing sehingga sangat tidak tepat jika kita mengambil kesimpulan denganm berpihak pada salah satu kelompok.
Untuk melihat dan mengarisbawahi situasi krisis kemanusiaan akibat pertarungan Politik ini, sangat tepat jika kita mengacu pada latarbelakang, dan motifasi kedua kelompok diatas agar kemudian dapat menarik kesimpulan yang tepat sasaran, objektif, dan menghargaai HAM masing-masing pihak ditengah semangat kebersamaan Internasional.
Penembakan 8 orang anggota TNI dari Batalion 753 Nabire yang bertugas di Puncak Jaya, Papua pada tanggal 21 Februari 2013 kemarin merupakan serpihan pertarungan politik diatas, sikap pemerintah Indonesia melalui Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mengelar Rapat Darurat di Istana Negara pada tanggal 22 Februari 2013 untuk menyikapi persoalan itu sanggat berlebihan, dan terkesan mengalihkan isu dari kasus korupsi yang sedang menimpa Partai Demokrat.
Pertanyaan tepat untuk menyikapi sikap SBY adalah bagaimana Pelanggaran HAM terhadap 22 anggota KNPB ?, bagaimana nasib Almarhum Musa Tabuni, dan Hubertus Mabel yang ditembak oleh aparat keamanan Indonesia baru-baru ini ?, bagaimana nasib kasus Wasior Berdarah ?, bagaimana dengan nasib Kasus Biak Berdarah, Bagaimana dengan Kasus Wamena Berdarah, dan bagaimana kasus pelanggaran HAM Berat terhadap masyarakat Papua sejak diberlakukan status DOM di tanah Papua. Mengapa dalam kasus-kasus itu Pemerintah Republik Indonesia melalui Presiden SBY tidak mengambil sikap untuk melakukan Rapat Darurat untuk menanggulangi persoalan HAM Berat yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia (TNI dan POLRI) ?.

ANALISIS MASALAH


Pertarungan politik antara Indonesia dan West Papua sudah menjadi legenda dalam tubuh rakyat Indonesia, dan juga rakyat internasional sebab merupakan suatu konflik yang tercipta bersamaan dengan Konflik Politik antara Indonesia dan Belanda sehingga dapat disimpulkan bahwa pertarungan politik ini telah diketahui oleh PBB sejak tahun 1960-an terlihat dengan keterlibatan PBB dalam upayanya guna memberikan solusi bagi Penyelesaian Konflik Politik Antara Indonesia Dan Belanda Atas Tanah Papua yang secara otomatis terkesan membungkam Nasib Bangsa Papua. Sikap PBB tersebut sangat jelas telah menyalahi ketentuan Internasioan tentang Deklarasi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia yang menjadi landasan didirikannya PBB pada tahun 1948.
Pertarungan Politik antara Indonesia dan West Papua ini juga telah sukses mengatarkan negara Indonesia secara Kenegaraan telah melanggar Konstitusi Negara Indonesia (UUD 1945) sebab didalamnya pada bagian pembukaan telah jelas menyebutkan bahwa :
Kemerdekaan adalah hak segala bangsa oleh,
Sebab itu maka penjajahan didunia harus dihapuskan,
karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.
Disamping itu secara kenegaraan Negara Indonesia juga telah menghendaki adanya perampasan terhadap hak hidup pada masing-masing pihak (TNI-POLRI atau TPN-OPM).
Selain itu Negara Indonesia juga telah melanggar UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia juga telah mengatur hak untuk menentukan kemerdekaan adalah hak setiap manusia yang tidak bisa ganggu gugat oleh siapapun baik negara, istitusi, person, dan lain sebagainya. Serta melanggar Konvenan Internasional Tentang Hak EKOSOB, dan Kovenan Internasional Tentang Sipol yang telah diratifikasi kedalam UU Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Hak Ekosob, dan UU Nomor 12 Tahun 2005 Tentang SIPOL juga telah memberikan dasar bagi setiap bangsa untuk menentukan nasibnya sebagai suatu negara yang merdeka pada pasal 1 UU masing-masing, dan juga melindungi hak hidup setiap manusia di dunia.
Semenjak Reformasi (1998) pemerintah Indonesia telah mengubah cara untuk melakukan Pelanggaran HAM Berat dengan jalan yang sistematis melalui aturan hukum yang diciptakan seperti : Penghapusan UU Subversif dan mengangkat Pasal 106 KUHP tentang makar serta Pasal 55 UU No 12 Tahun 1951 Tentang Kepemilikan Senjata Api sebagai perwujudan UU Subversi, lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otsus yang memberika rekomendasi kepada Pemerintah Pusat untuk mengurus masalah Pertahan dan Keamanan, UU Terorisme, dan PERPRES No 2 Tahun 2013 Tentang Pengendalian Konflik Sosial untuk mengartikan konflik fertical menjadi konflik social sebagai strategi praktis pengalihan isu dilapangan
Sangat tidak etis jika nasib ke-delapan anggota TNI ini hanya ditujukan kepada Pelaku yaitu TPN-OPM, jika demikian maka bagaimana dengan nasib anggota TPN-OPM yang sudah dibunuh oleh TNI dan POLRI ?.
Demi mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab maka dihimbau kepada keluaga korban baik dipihak TNI-POLRI dan TNP-OPM untuk membentuk suatu sikap yang tegas agar Mendesak KEDUA NEGARA YANG BERTIKAI dan PERSERIKATAN BANGSA BANGSA (PBB) untuk segerah menyelesaikan Pertarungan Politik Antara Negara Indonesia dan Negara West Papua yang telah meraup korban jiwa keluarga kami bahkan tidak menutup kemungkinan akan menimpa kami. Tindakan ini sangat dibutuhkan untuk menutup kemungkinan masing-masing pihak yang berseteruh untuk terus bertarung dengan memanfaatkan rasa duka yang menimpa keluarga korban untuk menciptakan korban baru.

DUDUK PERSOALAN


Jika terdengar adanya korban anggota Militer di dalam situasi perang antara dua kelompok adalah murupakan suatu kewajajaran, tetapi sangat tidak wajar jika yang menjadi korban adalah masyarakat sipil yang tidak berpartisipasi dalam situasi perang itu.
Telah mejadi rahasia umum bahwa TNI-POLRI Adalah Alat Keamanan Negara INDONESIA, Sedangkan TPN-OPM Adalah Alat Keamanan Negara WEST PAPUA. Strategi, taktik, dan tindakan yang dilakukan adalah oleh kedua institusi ini adalah suatu kewajiban Negara yang telah dilimpahkan pada pundak mereka sehingga mereka wajib menjalankannya. Terkait resiko yang akan dihadapi kemudian sudah menjadi tanggungjawab pribadi, dan merupakan resiko tugas. Hal ini sudah menjadi bagian dari diri setiap anggota TNI-POLRI dan TPN-OPM sebab mereka sudah tahu pasti resiko itu.
Tertembaknya 8 (delapan) anggota TNI di Pucak Jaya, Papua merupakan suatu keberlangsungan yang tidak dapat dipisahkan dari ranah Pertarungan Politik antara Indonesia dan West Papua, sehingga dalam hal memberikan pertanggunjawaban atas situasi bencana kemanusiaan di tanah papua adalah kesalahan keduan Negara baik NEGARA INDONESIA maupun NEGARA WEST PAPUA.
Semoga dalam Rapat Darurat yang dipimpin langsung oleh Susilo Bambang Yudhoyono Presiden Republik Indonesia diatas, dapat menemukan solusi yang tepat dan bermartabat untuk mengatasi pertarungan politik ditanah papua. Jika pada kesimpulannya nanti SBY mengambil tindakan untuk Menambahkan Pasukan ke tanah papua dengan tujuan untuk melakukan pemburuan pelaku penembakan maka jelas bahwa solusi yang ingin dilaksanakan adalah dengan Jalan Kekerasan sehingga marilah kita bersama-sama menyaksikan Pelanggaran HAM Berat yang akan terjadi selanjutnya di tanah papua.

PENUTUP


Sesuai dengan standar Hukum Internasional dalam upaya penyelesaian konflik politik antara dua pihak yang bertikai, dikenal 2 (dua) jalur penyelesaiaan, yaitu : 1). Jalur Kekerasan, dan 2). Jalur Damai. Berdasarkan pengalaman mengunakan dua jalur diatas memberikan referensinya masing-masing, secara umum perbedaannya yaitu; apabila jalan kekerasan yang ditempuh maka dampaknya mampu menyelesaikan persoalan tetapi selalu berdampak pada pelecehan terhadap Hak Asasi Manusia karena bersampul darah dan air mata, dan apabila jalur damai yang ditempu maka akan berdampak pada penyelesaian persoalan tanpa menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Untuk mengatasi Pertarungan Politik Antara Negara Indonesia dan Negara West Papua yang sudah, sedang, akan terjadi yang telah melahirkan sekian korban baik harta benda, situasi, dan bahkan jiwa raga pada kedua belah pihak dan bahkan berdampak pada rakyat sekitar maka dibutuhkan suatu solusi yang bermartabat yang diakui secara Internasional diatas. Dengan demikian maka peneyelesaian konflik politik idealnya adalah dengan Jalan Damai agar terwujud cita-cita keberadaban manusia secara internasional, di era modern dan globalisasi sebagai wujud penghargaan terhadap PBB dan Deklarsi Internasional Tentang Hak Asasi Manusia.
Penyelesaian Konflik Politik antara Indonesia dan West Papua mengunakan Jalur Damai secara teknis sudah banyak diusulkan dan disosialisasi oleh beberapa pihak seperti JDP, LIPI, LSM, Gereja, dan lain sebagainya dalam bentuk DIALOG, namun apakah organisasi-organisasi ini menjamin tercapainnya penyelesaiann secara bermartabat ?. Sebatas usulan sangat dihargai namun yang perlu dipahami bahwa ini menyangkut Nasib Suatu Bangsa dan Nasib Hidup Manusia dikedua belah pihak yang bertikai sehingga dalam hal teknis Penyelesaian Konflik Politik Antara Negara Indonesia Dan Negara West Papua dengan Jalan Damai harus dipikirkan kembali.
Dalam semangat HAM dan DEMOKRASI secara Internasional diakui slogan Dari Rakyat, Untuk Rakyat sebagai persembahan Deklarasi Independen Day yang menempatkan posisi rakya paling tinggi diatas semua organisasi Internasional (Negara, dan Lembaga) artinya Rakyat Memegang Kekuasaan Tertinggi, dan menetapkan slogan Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan.
Dengan melihat semua penjelasan (pandangan umum, analisis masalah, duduk persoalan, dan penjelasan dibagian akhir terkait solusi kongkrit, serta mengacu pada rekomendasi Deklarasi Independen Day) diatas, maka untuk menyelesaikan Konflik Politik Antara Negara Indonesia Dan Negara West Papua sangat tepat dikembalikan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai Organiasi Internasional yang bertugas untuk Melindungi, Menghargai, dan Mengangkat Hak Asasi Manusia Setiap Bangsa Di Dunia ini, selanjutnya bertindak sebagai Mediator, dan secara Teknis Jalur Damai ini diberikan Kepada Rakyat biarlah Rakyat yang menentukan sikap terkait apa yang dikehendakinya sebab Suara Rakyat Adalah Suara Tuhan, antinya solusinya adalah REFERENDUM. (pg/vot/pit)


Source: P.G

- - -
www.wpnla.net/tpn-opm

TPN-OPM PERINGATKAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA (SBY)
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB)-Organisai Papua Merdeka OPM dengan tegas memperingatkan kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY) atas Sikap SBY yang apatis atas status politik Papua Barat kedalam NKRI.
TPN-OPM yang bergabung dalam komando Nasional, dibawah pimpinan Gen. Goliath Tabuni dengan tegas memperingatkan kepada Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono agar segera hentikan pengiriman pasukan TNI/POLRI dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua.
Karena pengiriman Pasukan TNI/POLRI dalam jumlah besar di Papua Barat, justru memperuncing masalah dan masyarakat civil akan dikorbankan. Masyarakat Civil yang dimaksud adalah orang Asli Papua maupun orang Melayu imigran, yang datang mencuri dan merampok kekayaan orang Papua di Tanah Papua.
Perjuangan TPN-OPM sangat jelas. Artinya, TPN-OPM berjuang untuk memperoleh Hak Politik Menentukan Nasib Sendiri (Self Determination) bagi Bangsa Papua Barat. Dan juga TPN-OPM berjuang demi menyelamatkan dan melindungi Rakyat Bangsa Papua Barat dari tindakan Genocide oleh Aparat Keamanan Indonesia yang brutal dan bengis.
Sementara Invasi Militer Indonesia di Tanah Papua dari sejak 1 Mei 1963 sampai kini adalah tindakan criminal, yang melanggar Hak-Hak Asasi Bangsa Papua Barat. Oleh karena itu, segera hentikan operasi Militer di Tanah Papua dan stop mengirim anggota TNI/POLRI di seluruh wiayah tanah Adat Bangsa Papua Barat.
TPN-OPM mempunyai keyakinan bahwa pendudukan orang Melayu Indonesia di Tanah Milik Bangsa Papua adalah Illegal, dan belum sah karena kehadiran Indonesia dengan jalan yang penuh kotor.
TPN-OPM menilai bahwa Presiden SBY mengorbankan Anggota TNI/POLRI dengan dalih mempertahankan NKRI yang tidak berdasar. Akibatnya, keluarga-keluarga korban sakit hati dan selalu meratapi kepetihan.
Pak Presiden SBY, tidak merasa berdosakah Anda menyesatkan Anggota TNI/POLRI menjadi korban akibat memenuhi perintahmu? Pak Presiden, tidak sadar kah Engkau bahwa Papua akan Nanti Merdeka?
Ingat, bahwa bagaimanapun Papua Barat akan Merdeka Penuh sesuai dengan waktu Tuhan, dan orang Indonesia akan tinggalkan Papua Barat dengan rasa menyesal seperti pengalaman Timor-Timur.
TPN-OPM belum perang secara Nasional, melainkan hanya Revolusi tahapan. Presiden SBY ingat, bahwa waktu Revolusi Total nanti TPN-OPM aka tunjukan kepada dunia bahwa TPN-OPM adalah organisasi yang berjuang untuk membebaskan Bangsa Papua Barat dari Tangan New Colonialisme Indonesia.
Dalam waktu Revolusi total nanti, TPN-OPM siap habiskan TNI-POLRI yang datang mengambil nyawa paksa orag Asli Papua.
Penyataan Tegas TPN-OPM Kepada Presiden SBY
  1. Bahwa, Presiden SBY segera hentikan Pengiriman Pasukan dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua;
  2. Bahwa, Presiden SBY stop mengorbankan Anggota TNI/POLRI dengan dalih mempertahankan keutuhan NKRI, karena lebih banyak lagi anggota TNI/POLRI akan menjadi korban Penembakan oleh TPN-OPM;
  3.  Ingat, bahwa TPN-OPM siap lawan TNI/POLRI sampai Papua Merdeka;
  4. Bahwa, bagi TPN-OPM berapapun jumlah TNI-POLRI, TPN-OPM siap layani;
  5. Ingat, bahwa TPN-OPM menguasai medan dan mental perang yang bagus. Dengan dasar ini siap hadapi TNI/POLRI dalam keadaan apapun;
  6. Presiden SBY ingat, Anda sebenarnya pelanggar HAM atas orang Asli Papua dan atas anggota TNI/POLRI yang menjadi korban;
  7. Presiden SBY segera menyetujui untuk segera adakan perundingan segitiga guna membahas Agenda Referendum bagi Rakyat Bangsa Papua Barat, sesuai mekanisme PBB.
Demikian, pernyataan ini dikelurkan dari Markas Pusat TPNPB untuk menjadi perhatian oleh Presiden Republik Indoesia dan dapat dilaksanakannya. Terima kasih atas perhatian Anda.
Dikeluarkan Di   : Markas Pusat
Pada Tanggal      : 25 February 2013
 AN Panglima Tinggi TPNPB
Kepala Staf Umum
 ttd
 Mayjen Teryanus Satto
NRP. 7312.00.00.003

Source: wpnla
- -

PERJUANGAN TPN-OPM DIBAWAH PIMPINAN GEN. GOLIATH TABUNI TELAH BERHASIL DISIARKAN OLEH PENYIAR TV BBC LONDON SECARA INTERNASIONAL
Ilustrasi/Facebook
Bagaimana cara Perjuangan TPN-OPM dibawah Pimpinan Gen. Goliath Tabuni bisa berhasil disiarkan oleh Reporter BBC London dalam siaran Internasional? Nah untuk menjawab pertanyaan di atas kami mengulas dalam article ini. Silakan simak!
Keberhasilan TPN-OPM dalam mencapai penyiaran TV Klas Dunia, yaitu BBC London tentang perjuangan TPN-OPM adalah hasil kerja keras teman-teman pendukung Papua Merdeka di Kerajaan Inggris.
Teman-teman pendukung Papua Merdeka di Kerajaan Inggris bergabung dengan Tuan Benny Wenda di Organisasi Free West Papua Campaign, kemudian turut mengkampanyekan Papua Merdeka di Inggris Raya dan pada umumnya di Eropa.
Dalam missi dukungan atas perjuangan Papua Mereka, maka dua orang teman atas Nama Dominic Brown dan Clara M, melakukan perjalanan panjang dari Kerajaan Inggris ke Papua pada Bulan November-Desember 2008.
Kedua teman tersebut telah berhasil merekam semua usaha perjuangan Bangsa Papua, yang terutama perjuangan TPN-OPM dibawah pimpinan Gen. Goliat Tabuni dan KNPB. Dominic B dan Clara M. satu Bulan lebih tinggal bersama Gen, Goliath Tabuni di Markas Tingginambut, Puncak Jaya, Papua dan mereka mengetahui benar atas perjuangan Bangsa Papua dibawah Payung TPN-OPM.
Sekembalinya di London, kedua teman pendukung Papua Merdeka ini telah berhasil melakukan lobi dengan penyiar TV BBC London, Inggris. Akhirnya, BBC London menerima document videos footage kedua pejuang Papua Merdeka asal Inggris ini.
Kemuadia pada Hari Jumat tanggal 13 Maret 2009 telah mulai disiarkan oleh Penyiar TV BBC London secara Internasional dengan judul BBCNewsnight Program “Papuan’s Independence Struggle. Silakan click link dibawah ini untuk menyaksikannya:http://news.bbc.co.uk/2/hi/programmes/newsnight/7941787.stm atau siaran selanjutnya dengan judul OPM resistance in West Papua highlands – BBC2 Newsnight” pada link berikut ini: http://www.engagemedia.org/Members/fPcN_interCultural/videos/WP_highlands-BBC2_Xvid_720x576-egmed.avi/view.
Dengan demikian, maka perjuangan Bangsa Papua telah dan sedang mendunia atau telah menginternasionalisasinya. TPN-OPM berkeyakinan bahwa perjuangan Bangsa Papua akan terus mendunia, karena TPN-OPM sendiri mendapat dukungan penuh oleh kaum intelek anak-anak Negeri Papua, yang berjuang di dalam Negeri maupun yang berjuang di seluruh dunia.
Dengan dasar ini, memberikan energi baru kepada tua-tua TPN-OPM yang bertahan di Ribah Raya Papua. TPN-OPM akan bertahan dan berjuang terus sampai Papua Merdeka, dan terpaksa Indonesia akan tinggalkan Papua Barat dengan menyesal nanti.
Related Videos Silakan Click:
Forgotten Bird of Paradise – trailer
http://www.engagemedia.org/Members/fPcN_interCultural/videos/Forgotten_Bird_of_Paradise-trailer.mp4/view
Forgotten Bird of Paradise,
http://www.forgottenbirdofparadise.com/film/
BBC Newsnight report on West Papua independence movement
http://www.youtube.com/watch?v=I6–OsIkeV8
Papua’s struggle for independence
http://news.bbc.co.uk/2/hi/asia-pacific/7942026.stm
OPM resist in West Papua highlands – BBC Newsnight pt1
http://www.youtube.com/watch?v=QLjmcoFC9mE
Apa pun alasannya, Indonesia adalah pencuri, perampok dan pembunuh Umat Tuhan terhadap Bangsa Papua di Tanah Papua. Oleh karena itu, tidak dapat ditolerir oleh TPN-OPM. Kecuali ada ampun bagi Orang Asia pendukung Papua Merdeka, tetapi bagi watak penjajah tidak ada ampun.
Notes:
Berita ini belum pernah disampaikan kepada publik, karena penghubung Dominic Brown pada waktu itu ada di Penjara Colonial Republik Indonesia, di Tahanan POLDA Papua. Oleh karena itu, bagi yang belum sempat menyaksikan silakan download dari Links Location yang kami cantumkan di atas atau  dua video dibawah article ini dan boleh menyaksikannya.
Demikian, perjuangan TPN-OPM ini di updated kembali oleh Admin WPNLA guna diketahui oleh publik, yang terutama Rakyat Asli Papua dan TPN-OPM. Terima kasih atas perhatian Anda.
Admin WPNLA 2013
Source; wpnla

- - -