Select Menu

Slider

clean-5

Total Pageviews

Hukum dan Kriminal

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos


Benny Wenda, leader of the FWPC on his official Freedom Tour around the World, gathering support for West Papua.


Australian solidarity!

Benny pictured with the musician Nat Pa'apa'a from Blue King Brown at the Apology Concert in Canberra. The event was held to mark the 5th anniversary of the Australian Government's apology to the Aboriginal stolen generation.

Benny and the crew from Rize of the Morning Star playing live at The Espy in Melbourne last night. 

Papua Merdeka!

West Papua Freedom tour:
Benny Wenda with the Papuan Community in Melbourne, Australia. 
Hear the Sound of Our Drums. With Airileke Ingram, Ronny Ato Buai Kareni, and Jacob Rumbiak. 
Free West Papua, NOW!
Papua Merdeka!Benny Wenda with members of the West Papua community in Melbourne, Australia today
Benny meeting with the wife and two of the daughters of August Rumwaropen, the founder of legendary West Papuan band the Black Brothers.

August's daughters are continuing the music spirit of the struggle as part of theRize of the Morning Star music collective and also perform in TABURA and Blue King Brown.











Source: Free West Papua Campaign
- - - -
Benny Wenda, leader of the FWPC on his official Freedom Tour around the World, gathering support for West Papua.


Benny Wenda meeting New York State Senator Bill Perkins earlier this evening at the end of the first day of the Freedom Tour.

Earlier today in Washington, Benny was interviewed by Free Speech Radio News where he discussed the struggle for freedom in West Papua.

Solidarity from American and East Timorese activists.

West Papua will be free

Solidarity for Benny's Freedom Tour from the Pacific Media Centre in Auckland, New Zealand.

Benny speaking to the media in Wellington, New Zealand earlier today.

Deepest thanks to Catherine Delahunty and all the other MPs who came out in support of Benny's visit and the right of the people of West Papua to self-determination

Benny Wenda pictured earlier today with the crew from Maori TV in Auckland, New Zealand.

Solidarity for West Papua's struggle for freedom

Australian solidarity!
Benny pictured with the musician Nat Pa'apa'a from Blue King Brown at the Apology Concert in Canberra. The event was held to mark the 5th anniversary of the Australian Government's apology to the Aboriginal stolen generation.

Another photo from Benny's meeting in Australia's Parliament House yesterday.

Pictured with Senator Richard Di Natale (Australian Green Party spokesman for West Papua), and Laurie Ferguson, an MP of the Australian Labor Party

Freedom Fighters Unite!
Thirteen years after they last saw each other in Jayapura, West Papua - today former political prisoners and now political exiles, Benny Wenda and Herman Wainggai, met in New York City and held aloft the West Papua flag against the backdrop of the Statue of Liberty.
West Papua will be free!


Aboriginal Solidarity!!

Benny pictured with (left) Airileke Ingram (producer of George Telek's hit song 'West Papua') and (centre) the legendary Aboriginal musician Djolpa, from the Black Arm Band




Benny Wenda (r) and Octovanius Mote (l) pictured in Washington D.C. earlier today.

Benny's schedule tomorrow will include meetings with the US Senate Committee for Foreign Affairs, members of the State Department, and also with Eni Faleomavaega.

British independent filmmaker, Dominic Brown who made the film about W.Papua, Forgotten Bird of Paradise, with West Papuan leader Herman Wainggai

Benny Wenda visited Human Rights Foundation (HRF) today in New York.
Benny gave a speech at HRF's Oslo Freedom Conference in 2012.

Benny pictured with staff at the Freedom Forum and Human Rights Foundation (HRF) offices in the Empire State Building, New York City — with Pedro Pizano

Pacific leaders Unite! 
Benny pictured meeting US Congressman for American Samoa, Eni Faleomavaega, yesterday in Washington, D.C. — at Washington D. C.

Solidarity with friends in Auckland, New Zealand.

Tomorrow Benny will travel to Wellington for an International Parliamentarians for West Papua (IPWP) event co-hosted by Catherine Delahunty MP
Source: Free West Papua Campaign
- - - -
Gambar: Arnold C. Ap dkk (Dok Takmaiboo .P.)

Gerakan kebangkitan Mahasiswa berikutnya adalah, gerakan kebangkitan Seni dan Budaya Papua Barat yang di pelopori oleh Arnold C Ap, Sam kapisa dan kawan-kawan mahasiswa uncen di Jayapura. Gerakan mahasiswa yang bergerak di seni dan budaya ini lahir pada tahun 1972 yang dimulai dari gereja-geraja, panggung hingga terakhir di RRI nusantara lima Jayapura. Gerakan ini tumbuh dan berkembang, yangn kemudian pada tanggal 15 Agustus 1978 menjadikan hari jadi mambesak. Musik ini oleh Sam Kapisa dan Arnold C Ap mengganggap sebagai musik yang suci sehingga mereka menamainya Mambesak, Nuri, yang menurut orang Biak adalah burung suci, tujuannya adalah untuk menghibur hati masyarakat Papua yang sedang di intimidasi, di aniaya, di perkosa dan di binasakan. Musik-musik mambesak memberikan kekuatan perlawanan rakyat Papua dan mengembalikan jatidiri sebagai komunitas yang beda dari bangsa Indonesia.Gerakan Mambesak memberikan inspirasi yang kuat dan membangkitan nasionalisme bangsa Papua, sehingga perlawananpun semakin lama mulai menguat di daerah-derah Papua lainnya. Namun sayang, karena oleh pemerintah Indonesia menganggapnya gerakan ini sangat berbahaya sehingga mereka menangkap Arnold Ap dan membunuhnya tanpa alasan politik dan keamanan yang jelas terhadap kesalahan yang di Lakukan oleh Arnold Ap. Gerakan ini melahirkan protes besar-besar bangsa Papua atas kehadiran Indonesia, dengan melakukan Suaka politik dan pengungsian besar-besaran.Di Jayapura sekitar 800 Masyarakat Papua melakukan pelarian ke Perbatasan Indonesia – PNG sebagai protes mereka atas sikap tidak manusiawi Indonesia terhadap bangsa Papua Barat. Sementara di Jakarta, Simon Ottis Piaref, Johannes Rumbiak, Jopie Rumanjau dan Loth Sarakan,
mempertanyakan nasib Arnold Ap ke DPR-RI, karena dikejar-kejar maka mereka melakukan lompat pagar dan meminta suaka politik di kedutaan Belanda. Sikap yang diambil oleh Simon O Piaref dan kawan-kawan ini, adalah sikap protes atas sikap dan tindakan Indonesia yang tidak manusiawi di tanah Papua Barat. Pada hari yang sama sekitar 300 masyarakat Papua melakukan long march mengantar mayat Alm. Arnold Ap dari Jayapura menuju Tanah Hitam, tempat peristirahatan terakhir Alm. Arnold Ap, salah seorang musisi sekaligus Antropolog yang lahir dari Tanah Papua.

Salam Pembebasan...

surce: takimaiboo.wordpress.com
- - - -
home.snafu.de

Papua adalah daerah konflik. Salah satu penyebab utamanya adalah kekayaan sumber daya alam. Kepentingan ekonomi dan politik dalam eksploitasi alam dan sumber dayanya berarti bahwa militer dan intelijen selalu menempatkan diri di Papua. Kenyataan ini mencegah kebebasan mobilitas. Penduduk Papua terdakwa sebagai separatis, dan aktivis lingkungan berisiko dianggap sebagai pendukung separatis. Ini adalah ancaman serius untuk kehidupan dan badan dari para aktivis.

Akibat dari konflik tersebut suasana ketakutan dan ketidakpercayaan selalu muncul. Orang seringkali tidak berani untuk menolak atau mengorganisir. Kepercayaan dari keduabelah pihak (masyarakat setempat dan pemerintah RI) hanya dapat dibangun dengan semangat penuh secara perlahan-lahan.

Kemiskinan penduduk di satu sisi dan kekayaan sumber daya di sisi lain berarti bahwa banyak juga orang Papua sendiri yang terlibat dalam korupsi. Kaum elit di Papua telah dibentuk untuk ikut mengobral tanah Papua kepada industri kayu dan perusahaan kelapa sawit. Masalah dan resiko yang lain adalah: Kekurangan infrastruktur di daerah yang sangat besar. Perjalanan atau transportasi relatif mahal, butuh waktu lama dan sangat sulit.

Hutan terakhir di Asia Tenggara berada di Papua. Namun keadaannya sangat terancam oleh penggundulan hutan, pertambangan dan perkebunan. Sementara 80% dari populasi masyarakat Papua masih tergantung sepenuhnya dari hutan dan sebagian masyarakat masih hidup sebagai pemburu dan peramu. Dalam beberapa tahun terakhir, mereka banyak kehilangan tanah tradisionalnya. Hilangnya hutan punya dampak yang kuat pada masyarakat, karena hilangnya hutan menghancurkan mata pencaharian mereka. Lahan berburu hilang, sungai yang mengering, sehingga mereka hampir tidak mendapatkan ikan, dan dengan demikian masyarakat semakin miskin.

Sejak 2007 serbuan industri perkebunan di tanah Papua dimulai, dengan tujuan produksi tanaman yang akan digunakan untuk energi dan transportasi. Masyarakat adat Papua sangat terdesak oleh perkembangan yang pesat sekarang ini. Mereka kehilangan akses mengunakan tanah mereka selama-lamanya. Masalah terbesar dalam sengketa atas tanah adalah hak atas tanah yang tidak dijamin oleh negara.

Gerakan untuk menyelamatan hutan dan hak-hak masyarakat adat oleh karena banyaknya permasalahan belum terbentuk sama sekali. Penyebab utamanya adalah lapisan masyarakat yang menolak perusakan hutan, eksploitasi sumber daya alam dan rancangan ekspansi ekonomi yang tidak memiliki peluang oleh karena kekuatan bisnis, politik dan militer. Juga oleh karena itu masyarakat adat dan LSM di Papua terlalu lemah untuk menentang rencana ekspansi industri sawit. Selain itu, LSM internasional dan LSM Indonesia hampir tidak terlihat di Papua.

Masalah lainnya adalah perjanjian antara pemerintah dan pengusaha pada umumnya dilakukan tanpa konsultasi, keterlibatan, dan persetujuan dari masyarakat setempat. Karena itu protes sering terhambat, dibungkam atau dijawab dengan kekerasan.

Tanah dan Hutan Papua telah terbagi-bagi seperti ‚KUE’

Sepuluh tahun yang lalu, pada akhir rejim Suharto, Papua masih padat hutan dibandingkan dengan daerah-daerah yang lain di Indonesia. Setelah Suharto mengundurkan diri (1998), Papua ditimpa oleh mafia liar dalam mencari kayu tropis, dan Papua menjadi wilayah utama operasi mafia kayu internasional. Hutan Papua telah menjadi medan konflik antara kepentingan nasional dan lokal, dan konflik-konflik pasti akan berlangsung dalam waktu panjang. Bahkan tidak pernah akan ada penyelesaian secara tuntas.

Sejak tahun 2001, Papua dibagi ke dalam beberapa kabupaten dalam rangka otonomi khusus. Segera setelah pembagian tersebut banyak perusahaan kayu memasuki Papua. Tahun 2001, Departemen Kehutanan mensahkan konsesi penebangan (HPH, Hak Pengusahaan Hutan) kepada 54 perusahaan baru. Perusahaan-perusahaan tersebut membagi-bagi Papua dibawah sepengetahuan mereka sendiri. Mereka bersama-sama menguasai sepertiga dari luas total wilayah Papua. Menurut data pemerintah, HPH lebih dari 14 juta hektar dialokasikan kepada perusahaan kayu: diantarnya di daerah Kepala Burung, di wilayah sekitar Teluk Bintuni, di wilayah Utara, dan di wilayah Selatan di kabupaten Boven Digul dan Mappi. Pengecualian berlaku hanya di daerah daratan tinggi. Hampir satu juta hektar berada di tangan industri kertas, dan lebih dari setengah juta hektar milik perusahaan perkebunan. Ditambah lagi ada beberapa konsesi untuk pertambangan. (lihat juga peta HPH di http://www.papuaweb.org/gb/peta/fwi/05.jpg). Izin konsesi lahan menunjukan bahwa untuk Industri kayu (HPH), 14.410.351 ha; Industri kertas (HTI), 916.397 ha; dan Perkebunan (HGU), 570.497 ha. Hal ini menunjukkan bahwa tanah dan hutan Papua dibagi-bagi seperti ‘kue, atas nama pembangunan. Pertanyaannya adalah masyarakat adat pemilik hak itu dapat apa dari ‘kue’ yang dibagi-bagi itu?

Pembagian „kue Papua“ berdasarkan HPH mempunyai beberapa dampak yang tidak diinginkan. Dalam periode 2001 sampai 2008, jadi hanya dalam waktu tujuh tahun, penebangan sah oleh HPH meningkat sekitar sepuluh kali lipat. Karena izin HPH pada umumnya yang mendasari tindakan penyalahgunaan, maka penebangan liar juga telah meningkat drastis, hingga 90%; tidak ada daerah lain di Indonesia dengan prosentase yang begitu tinggi. Karena itu, impor kayu tropis liar dari Indonesia seringkali berarti sumbernya adalah Papua. Jika hutan Papua yang mempunyai keanekaragaman hayati luarbiasa dan unik terus-menerus dimusnahkan dengan begitu pesat, maka punahnya hutan dalam beberapa tahun mendatang menjadi jelas.

Dalam beberapa tahun terakhir ini penebangan hutan telah merubah kehidupan masyarakat adat dalam waktu sangat singkat. Masyarakat kehilangan hutan, sekaligus kehilangan akses pemanfaatan sumber-sumber daya, yaitu sagu, akar-akaran, binatang buruan, dan tanaman serat. Konflik baru telah muncul yang menghancurkan harapan untuk masa depan.

Perkebunan Sawit: Meledaknya bahan bakar agrofuels menyebabkan meluasnya ekspansi perkebunan secara besar-besaran

Hutan tropis di Papua hampir tidak mempunyai kesempatan untuk bertahan, karena muncul ancaman baru yakni minyak sawit. Pemerintah Indonesia bereaksi atas kebutuhan energi dunia dengan perencanaan 20 juta hektar perkebunan sawit Papua berkenan menyediakan tujuh juta hektar. Ini bisa berarti bahwa 9,3 juta hektar hutan konversi diperuntukkan bagi perkebunan. Perjanjian pertama untuk perkebunan besar-besaran termasuk infrastruktur terkait telah ditandatangani pada bulan Januari 2007. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dibilang menekan Papua agar rencana dari Jakarta diterima. Artinya, demi biofuel menurut keinginan Jakarta, Papua harus takluk.

Di Papua terdapat beberapa perkebunan yang sudah lama ada di daerah tersebut. Perkebunan sawit yang lebih besar dan yang "produktif" saat kini hanya terdapat di wilayah dekat Jayapura (Lereh, Arso) dan Boven Digul (Korindo), semua wilayah tersebut memiliki produksi yang sangat rendah. Pengalaman dengan perkebunan tersebut adalah pengalaman yang memprihatikan. Sepuluh kali lebih banyak hutan yang ditebang dari pada yang ditanam dengan kelapa sawit. Dampak negatif lainnya adalah banjir di Lereh, pelanggaran hak asasi manusia di Arso dan di perkebunan Korindo di Boven Digul, masyarakat adat kehilangan tempat pemburuan. Hal ini mengakibatkan peningkatan kemiskinan, penyakit yang disebabkan oleh kekurangan gizi, dan kelaparan. Juga stress dan trauma berkepanjangan akibat masyarakat tidak berdaya di hadapan kekuasaan pemerintah Indonesia.

Adanya kaitan erat antara perekonomian perkebunan dan penggundulan hutan untuk lahan perkebunan, hutan harus ditebang habis dan sisanya seperti akar-akaran dimusnahkan dengan api. Tidak hanya di Papua, juga di Kalimantan dan Sumatra perusahaan kelapa sawit memiliki lahan jauh lebih banyak daripada lahan yang ditanami.

Pada Januari 2007 pemerintah Indonesia menandatangani perjanjian pertama yang besar dan relevan untuk Papua. Perusahaan Indonesia Sinar Mas Grup akan mengelola satu juta hektar perkebunan sawit, perusahaan minyak nasional asal Cina CNOOC akan membangun infrastruktur yang diperlukan. Media Indonesia menyebutkan salah satu donatur proyek ini adalah KFW dari Jerman (Kreditanstalt für Wiederaufbau - bank negara/IBRA) atau anak perusahaanya swasta yaitu DEG sebagai donor. Sementara itu , perealisasian proyek tersebut goyang. DEG sepertinya telah memundurkan diri dari proyek tersebut, dan Sinar Mas mengakui adanya "risiko".

Namun demikian Jakarta melakukan tekanan yang kuat terhadap Papua supaya menerima maksud dari ekspansi. Di sisi lain perusahaan-perusahaan mempunyai ketertarikan atas bisnis yang menguntungkan pihaknya ini dan sibuk bernegosiasi pada semua tingkatan:dengan para gubernur dan dengan bupati masing-masing. Perkebunan secara besar direncanakan di Pantai Utara (Sarmi, Jayapura), di daerah Kepala Burung (Manokwari, Sorong) dan di tiga Kabupaten di daerah Selatan: Merauke, Boven Digul, dan Mappi. Di bagian Selatan saja, tiga juta hektar perkebunan sawit akan didirikan, termasuk Merauke dengan 1,3 juta hektar.
Hutan Papua akan dikonversi menjadi perkebunan. Konglomerat international telah bersiap di sekitar wilayah setempat, Perjanjian pada tiga tingkatan: negara, propinsi, kabupaten sudah tentu ada untuk "Pembiayaan infrastruktur" dengan alasan meningkatkan akses kemudahan di bagian Utara: Sarmi, Jayapura; Selatan: Boven Digul, Mappi, Merauke dan Barat: Sorong, Manokwari.

Perencanaan muncul pada ‘meja hijau hutan belantara’, seperti digambaran dengan penggaris begitu saja di atas kertas. Perusahaan sawit berada disekitar wilayah sejak Mei 2007 dan mencoba menpengaruhi para pengambil keputusan di bidang politik dan juga gereja, dengan menjanjikani akan memberikan investasi di bidang pendidikan dan infrastruktur. Dalam beberapa bulan terakhir, beberapa perusahaan telah berhasil memperoleh hak atas puluhan ribu hektar tanah. Masyarakat tidak mempunyai hak atas partisipasi. Ternyata, kebanyakan dari mereka tidak mengetahui apa yang akan menimpa mereka. Namun sebagian dari mereka menolak hilangnya hutan dan hak atas tanah mereka .

Masih dipertanyakan, apakah perkebunan besar-besaran ini bisa direalisasikan sesuai dengan yang direncanakan. Pihak perusahaan juga mengetahui bahwa investasi dibidang agro-industri yang belum layak di sebuah wilayah dengan infrastruktur yang buruk dan bahaya keamanan serta politik yang tinggi menggambarkan adanya sebuah resiko perekonomian. Namun satu yang pasti bahwa Pembagain KUE hutan harapan terakhir di Asia, terutama di Indonesia telah berlangsung di Tanah Papua. Tanah milik orang adat Papua itu telah terancam, termasuk orang adatnya sendiri.

Oleh Marianne Klute, Watch Indonesia!


-