Papua hadir dalam sejarah Indonesia sejak 1 mei 1963, sejak sejarah bergabungnya tanah papua kedalam NKRI, daerah ini terus mengalami guncangan dan pertumpahan darah. Banyak solusi yang telah diajukan dan dicoba untuk dilaksanakan oleh pemerintah maupun lembaga lainnya. Tetapi masalah yang dialami masyarakat papua bukan terurai dan terselesaikan melainkan menjadi lebih kompleks. Minimnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah Papua yang disebabkan oleh perbedaan cara pandang, pemerintah pusat didominasi oleh kebijakan yang sentralistis yang dinilai pemerintah papua tidak menguntungkan bagi mereka. Pemerintah pusat senantiasa mengedepankan kebijakan nasional yang bertujuan untuk menjaga integrasi wilayah NKRI. Namun pandangan dan realisasi tersebut tidak sesuai. Pemerintah pusat melakukan penetrasi kekuasaan terlampau jauh terhadap daerah-daerah, sementara telah ada otonomi daerah dan otonomi khusus bagi provinsi Papua. Dalam penetrasi kekuasaan tersebut Nampak seolah-olah pemerintah pusat ingin menguasai setiap jengkal tanah papua. Sehingga masyarakat asli merasa dirinya sebagai tamu yang tersingkir ditanah kelahirannya sendiri.
Eksploitasi kekayaan alam papua oleh pemerintah dengan alasan yang tidak masuk diakal. Misalnya saja, Freeport adalah lahan sangat empuk bagi segelintir pejabat, para jenderal dan juga para politisi busuk negeri ini, yang menikmati hidup bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. Para petinggi Freeport sudah mempunyai kontak dengan tokoh penting di dalam lingkaran elit Indonesia. Mereka adalah Menteri Pertambangan dan Perminyakan Ibnu Soetowo dan Julius Tahija. Orang yang terakhir ini berperan sebagai penghubung antara Ibnu Soetowo dengan Freeport. Ibnu Soetowo sendiri sangat berpengaruh di dalam angkatan darat karena dialah yang menutup seluruh anggaran operasional mereka.
Sebagai suatu daerah yang bergabung kedalam Republik Indonesia setelah delapan belas tahun Indonesia merdeka yang tidak memiliki komunikasi yang cukup intensif dengan daerah-daerah lain, maka sangat wajar bila masyarakat papua menjadi suatu daerah yang terisolir dan tertinggal. Minimnya komunikasi anatara pemerintah pusat dan masyarakat Papua disebakan oleh dua hal, pertama, pemerintah beranggapan bahwa komunikasi dan dialog dengan masyarakat papua tidak penting, sebab pemerintah pusat menilai masyarakat Papua tidak memiliki kebudayaan. Hal yang dianggap penting oleh pemerintah pusat adalah bagaimana membuat masyarakat Papua diajari mengenai “adat” dan kebudayaan baru kemudian setelah mereka beradat dan beradab barulah akan diadakan komunikasi. Padahal menurut pandangan antropologi, setiap suku bangsa di dunia pasti memiliki kebudayaan yang mewarnai atau menjadi referensi berfikir bagi kelompok suku bangsa tersebut. Oleh karena itu perlu adanya pengakuan atas kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Papua. Komunikasi dengan masyarakat Papua sangat penting sebagai sarana transformasi sekaligus articulasi aspirasi dan keinginan rakyat. Proses komunikasi yang berbasis pada aspek kebudayaan lokal maka akan lebih efektif untuk mengatasi masalah yang sedang dihadapi oleh mereka. Kedua, pemerintah pusat menganggap komunikasi dapat menjadi factor penghambat dalam pengambilan keputusan. Hal itu tercermin dari sikap pemerintah yang menolak dialog dengan masyarakat Pupua. Penolakan pemerintah disebabkan oleh rasa khawatir bahwa apabila rakyat berada dalam forum dialog mereka menyampaikan aspirasi merdeka.[2]
Dilihat dari segi budaya, budaya yang dimiliki Papua saat ini memang masih tertinggal. Tertinggal disini berarti mereka masih tergolong masyarakat tradisonal. Dengan budaya primitif yang mereka lakukan setiap hari, dimana dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar rakyat Papua masih beraktifitas secara tradisional. Menurut saya ini bukanlah suatu kesalahan penuh dari pemerintah saja. Tetapi karena sulitnya merubah budaya asli Papua yang sudah tertanam kuat dalam masyarakat Papua. Keterbelakangan mereka mungkin disebabkan karena sejarah Papua sendiri. Papua berbeda dengan Jawa, sejak ratusan tahun lalu Jawa telah terjajah oleh bangsa asing yang pastinya membawa budaya modern Eropa mereka. Sedangkan Papua yang terletak diujung timur Indonesia baru 1900-an dimasuki bangsa Belanda, dimana pada tahun yang sama Jawa telah dijajah bangsa Belanda satu abad lebih. Disini bangsa Jawa selama seabad lebih itu telah berinteraksi dengan bangsa asing dan budaya modern mereka. Selama bertahun-tahun mereka telah berinteraksi dan menerima budaya modern dan hal itu sangat berpenagruh pada masyarakat saat ini yang lebih bisa menerima budaya-budaya baru yang modern. Sedangkan di bumi Papua masyarakatnya baru mulai mengenal bangsa asing dengan budaya modernnya baru tahun 1900-an. Dengan waktu yang singkat ini sangat mungkin mereka tidak semudah masyarakat Jawa dalam penerimaan budaya modern. Kita dapat lihat keadaan Papua sekarang ini.
Menurut saya budaya Papua tidaklah perlu dirubah menjadi budaya yang modern, namun perlu adanya penambahan budaya yang lebih modern tanpa mengganggu proses dinamika budaya Papua. Perlunya mempertahankan budaya lokal ini bertujuan agar kekhasan Papua tetap terjaga dan tidak hilang begitu saja seperti budaya-budaya lokal Indonesia lain yang tertelan gelombang modernisasi. Budaya Papua janganlah sampai punah, dimana kita dapat memanfaatkan budaya lokal yang unik ini sebagai lahan dollar pemerintah dan masyarakat Papua. Dengan pengembangan potensi wisata Papua dari segi budaya Papua yang unuk dan eksotik itu. Ini bisa menjadi pilihan alternatif pengembangan kesejahteraan penduduk Papua yang sebagian besar masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.
Ada beberapa gagasan yang ingin saya paparkan sebagai alternatif solusi dalam pembangunan Papua kedepannya, pertama saya menyarankan agar dibuat master plan pembangun Papua baik pembangunan jarak pendek maupu pembangunan jangka panjang secara keterbutuahan Papua. Kedua saya lebih menyoroti pada pengembangan Papua sebagai sebuah wilayah yang modern tanpa meninggalkan budaya Papua secara persuasif. Sedangakan yang ketiga menigkatkan kesejahteraan masyarakat Papua dengan memanfaatkan SDA Papua yang kaya.
Mengenai pembangunan jangka pendek dan jangka panjang, saya berpendapat bahwa penyusunan draft rencana pembangun tersebut jangan hanya menggunakan para ahli-ahli saja. Namun penyusuna tersebut perlu juga kiranya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dari tiap kabupataen/kota di Papua. Tentunya para tokoh-tokoh masyarakat itu lebih tau kebutuhan dan keinginan masyarakat Papua. Mekanisme perumusannya ialah dari setiap tokoh di kabupaten/kota yang telah menampung aspirasi rakyat berkumpul dalam sebuah forum bersama bebrapa ahli untuk merumuskan pokok-pokok rumusan pembangunan dari kabupaten/kota tersebut. Setelah pokok-pokok rumusan dari kabupaten/kota tersebut tercapai maka perwakilan tokoh masyarakat dari tiap kabupaten/kota melakukan pertemuan dalam sebuah forum tingkat provinsi bersma ahli-ahli untuk merumuskan pokok-pokok pembangunan Papua. Dari hasil forum tingkat provinsi yang telah disepakati kemudian diajukan ke pemerintah pusat untuk digodok ulang dan disempurkan. Kenapa harus pemerintah pusat yang mengurusi, dikarenakan saya beranggapan pemerintah daerah Papua belum profesional dalam menjalankan pemerintahan yang berkerakyatan. Dimana pemerintah daerah banyak menganggurkan uang dari pemerintah pusat yang jumalahnya tidak sedikit. Hendaknya mereka memanfaatkan dana yang melimpah itu, bukannya menmbungakan uang tersebut di bank.
Membangun Papua menjadi modern tanpa meniggalkan budaya lokalnya mungkin terlihat cukup sulit dilakukan. Namun bila ada kemauan dari seluruh stakeholder maka hal itu bukan hal yang tidak mungkin terjadi. Saya memiliki gagasan bahwa perlu adanya penelitian yang dilakukan pemerintah mengenai budaya dan beberapa hal dari Papua. Ini penting dalam pemebentukan konsep modernisasi Papua tanpa menghilangkan budaya lokal. Penelitian ini menurut saya hendaknya dilakukan oleh beberapa ahli antropologi, budaya, soisologi, geografi, sejarah, kedokteran, psikologi, pendidikan, dan beberapa ahli yang berhubungan. Hasil penelitian dari gabungan ahli-ahli itu dapat menjadi bahan perencanaan modernisasi Papua tanpa menghilangkan budaya lokal. Ini sangat penting mengingat kondisi Papua tentunya sangat berbeda dengan wilayah Indonesia yang lain, sehingga perlu dilakukan kajian secara mendalam.
Mengenai penigkatan kesejahteraan masyarakat dengan SDA Papua sangatlah mungkin dilakukan. Mengingat SDA Papua yang melimpah dan masih banyak yang belum diberdayakan secara maksimal. Mungkin sedikit hambatan dalam penyuluhan kepada masyarakat karena terbatsnya pendidikan masyarakat Papua. Namun hal itu dapat diatasi bila dalam penyuluhan mengenai pemanfaatan SDA itu dilakukan menggunakan adat istiadat dari setiap wilayah, serta melibatkan tokoh masyarakat setempat. Penyuluhan ini mungkin akan cukup berhasil, mengingat masyarakat Papua masih sangat mengahargai para tokoh masyarakat mereka. Perlu komunikasi intens antara pemerintah dengan para tokoh masyarakat agar tokoh masyarakat tersebut bersedia mengkomunikasikan program pemerintah tersebut.
Dari keseluruhan pemaparan solusi alternatif itu saya beranggapan bila program-program itu dijalankan dengan baik oleh semua pihak yang terkait, tidak ada kata mustahil tanah Papua akan menjadi sebuah daerah yang makmur selayaknya di Jawa. Dukungan materil dan non-materil dari pemerintah sangatlah diperlukan dalam susksesnya suatu program pembangunan. Dari pihak masyarakat sendiri juga diperlukan dalam hal dukungan dan pengawasan demi terlaksananya suatu program pembangunan yang sesuai dengan target.
Peran para sosiolog dalam pembangunan Papua sanagtlah besar. Mereka dapat nmemberikan sumbangsih dalam berbagai hal. Sosiologi sebenarnya sangat diperlukan dalam proses pembangunan Papua. Pemerintah hendaknya menggandeng para Soisolog untuk membantu pemerintah dalam penyusuna rencana pembangunan di Papua. Lebih baik lagi jika pemerintah memfasilitasi para Sosiolog Indonesia untuk melakukan penelitian di Papua. Penelitian ini tidak hanya di pedalaman Papua saja, namun hendaknya dilakukan di kota-kota juga. Dimana nantinya dapat dikethui perilaku dari penduduk Papua secara keseluruhan. Jadi dalam menentukan suatu kebijakan nantinya pemerintah tidak salah sasaran dan lebih solutif.
DAFTAR PUSTAKA
Arge, Rahman. 2008. 200 Pilihan Permainan Kekuasaan. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
da Ir , Ans Gregory. 2008. Dari Papua meneropong Indonesia: darah mengalir di bumi Cendrawasih: catatan dan pikiran seorang wartawan. Jakarta: Grasindo.
Drooglever, P.J. 2010. Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri (penerjemah: Jan Riberu). Yogjakarta: Kanisius.
Kambu, Robert Menase. 2010. Jayapura Kota di Ujung Timur: Spesifik, Eksotik, Unik & Menarik. Jakarta: Indomedia Global.
Manangsang, Jhon. 2007. Papua Sebuah Fakta dan Tragedi Anak Bangsa, Pergumulan: Etika, Moral, Hukum, Sosial, Budaya, Kedokteran, SDM dan Kemanusiaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan dialog. Jakarta: Millenium Publisher.
Widjojo, Muridan S, dkk. 2009. Papua Road Map: Negotiating the Post, Improving the Present and Securing the future. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Yuniarti, Fandri dan Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
-----------------------------------------------------------------------------
[1] Yuniarti, Fandri dan Verdiansyah, Chris (ed). 2007. Ekspedisi Tanah Papua: Laporan Jurnalistik KOMPAS. Jakarta: Kompas Media Nusantara. Hlm 5
[2] Maniagasi, Frans. 2001. Masa Depan Papua: Merdeka, Otonomi Khusus dan dialog. Jakarta: Millenium Publisher. Hlm 124.
Source: juwita.blog.fisip.uns.ac.id
Tidak ada komentar
Posting Komentar