Select Menu

Slider

clean-5

Total Pageviews

Hukum dan Kriminal

Travel

Performance

Cute

My Place

Slider

Racing

Videos

Festival Budaya Lembah Baliem (Jubi/Levi)

Jayapura, 27/2 (Jubi)—Indentitas Orang Papua itu berkulit hitam, berambut keriting , kebiasaan hidup yang khas dan bahasa sarana  komunikasi yang berbeda dari satu wilayah ke wilayah lain itu kekayaan budaya manusia Papua.
Namun, warisan identitas orang Papua kini mulai terkikis akibat kekuatan budaya politik dan ekonomi. Kekuatan politik dan ekonomi telah merubah pola pikir orang Papua. Orang Papua melihat budaya luar lebih manusiawi daripada budayanya sendiri.
“Mau memberi nama dan gunakan nama adat saja lupa, bahkan alergi. Kalau ini saja tidak, apa lagi yang lain? Sangat tidak mungkin kita pastikan orang Papua peduli,” kata Yulianus Hisage, Budayawan Huwula, kepada tabloidjubi.com, Selasa (27/2) di Jayapura.
Kalau identitas dirinya lupa, Menurut Hisage, masa depan orang Papua yang tahu diri dan budaya sangat tidak bisa diharapkan. Banyak orang Papua yang akan hidup tanpa pondasi atau landasan hidup. “ Ini fakta terkini yang menjadi gambaran besok. Kita keluar dari norma yang ditentukan nenek moyang. Ke depan masuk surga dan neraka. Adat dinilai kuno. Entah kuno atau modern, adat itu pondasi membangun diri.”
Semua orang Papua mesti sadar, menurut Yulianus, kalau menyoal Papua tidak lain dari menyoal identitas. Karena itu, indentitas yang mulai terkikis akibat kepentingan penguasa negeri ini pelu kita pertahankan.
“Bicara Papua sama dengan bicara pengembalian jati diri. Siapa saya sesungguhnya kita?” tanya Hisage, yang juga sekretaris Dewan Adat Papua (DAP), wilayah Lapago ini.
Salah satu upaya agar orang Papua peduli pada jati diri yang terkikis, menurut Hisage, adalah dengan melakukan pendidikan adat.  Ini yang dirancang oleh DAP Balim. Di sekolah  adat ini, menurut Hisage, semua orang Papua Balim wajib mengikuti pendidikan adat. “Siapapun datang belajar. Anak-anak sampai pendidik setinggi langit pun wajib karena semua gagal membangun Papua ini,” katanya.(Jubi/Mawel)
Source; tabloidjubi.com
-
Photo: Mr. Barak Sope and Mr. Andy Ayamiseba (West Papua National Coalition for Liberation)
VANUATU] Mantan Perdana Menteri dan anggota parlemen Vanuatu, Barack Sope, menuntut pemerintah negara tersebut untuk menolak hadiah seribu seragam polisi dari pemerintah Indonesia. 

Hadiah tersebut diberikan oleh Duta Besar Indonesia untuk Vanuatu, Nadjib Riphat Kesoema, dalam pertemuan pertamanya dengan Presiden Lolu Johnson Abil. 

Vanuatu selama ini sering menjadi tempat mengungsi oleh banyak warga Provinsi Papua Barat. Barack Sope mengatakan kepada program Radio bahwa hadiah ini adalah usaha pemerintah Indonesia untuk mempengaruhi warga Vanuatu, yang disebut Ni-Van, dalam pendapat mereka mengenai provinsi tersebut. 

"Banyak darah sudah ditumpahkan di Papua Barat yang ditumpahkan oleh militer Indonesia," katanya. 

"Bagaimana Indonesia bisa menolong warga Melanesia di Vanuatu dan tempat-tempat lainnya, kalau mereka juga membunuh warga Melanesia di Papua Barat. Kami tidak bisa terima hal itu,” katanya. 

"Mereka harus memperbaiki situasi Hak Asasi Manusia, mereka harus memperbaiki situasi kolonialisasi di Papua Barat, yang mereka belum lakukan, dan tolak untuk lakukan. Yang kami lakukan di Vanuatu adalah kemunafikan. Kami bilang satu hal, tapi bertindak yang lain," lanjutnya.  [ABC/L-8]  

Source: suarapembaruan.com
-

SEBAIKNYA TIM PAPUA MUNDUR DARI ISL 
PERSIPURA MANIA

Berbagai kalangan pengamat sepakbola Papua rasakan diskriminasi sepak bola ISL Indonesia superliga yang di siarkan media TV ONE dan ANTV sangat diskriminatif, karena laga kandang tim papua seperti Persipura, Persiwa, Persidafon dan Persiram di Papua tersebut.
sedangkan tim Papua berusaha mempertahankan ISL tersebut tetap Jalan, hal ini mebuat tim papua harus Undur dari ISL apabila penyiaran di papua medapat diskriminasi dari dua media tersebut. karena ini bentuk pembunuhan dan penutupan perkembangan sepakbola Papua tersebut.

SUARA PERSIPURA MANIA...

Source: FB Kristian Papua


-
Waktu kemerdekaan Republik West Papua di proklamasikan (1 juli 1971) saya belum lahir, tetapi saya sadar bahwa, saya harus ambil Proklamasi sebagai patok saya. Saya tahu bahwa ada saudara/ saudari lain yang sudah tahu bahwa sudah ada hari Proklamasi, tetapi mereka lihat hari Proklamasi itu sebagai hari yang sudah besejara saja. Bapak saya alm. Arnold Ap setia kepada tanah dan bangsanya, sampai akhir hidupnya, dia setia dan perjuangkan perjuangan Proklamasi, untuk capai West Papua Merdeka 100%. Bapak saya di siksa dan di bunuh oleh alat-alat pemerinta Indonesia, jadi saya tidak akan lihat hari Proklamasi sebagai hari yang sudah bersejara saja, tetapi saya tetap akan tahankan hari Proklamasi dan turut perjuangkan perjuangan Proklamasi.

'Tahan Proklamasi'



oleh: Oridek Ap

Hari dewasa ini kami semua bisa lihat yang ada banyak kebebasan di tanah tumpah dara, West Papua. Semua kebebasan yang sekarang di West Papua itu baik, asal kami gunakan kesempatan kesempatan dengan baik. Jangan, kami kaget dari Gus Dur (Presiden Wahid) punya kata-kata, semua kata-katanya cukup manis, semuanya untuk menang kepercayaan rakyat asli West Papua, oleh sebab itu dia 'hapuskan' nama Irian Jaya dan gantikan akan dengan Papua Barat. Dengan nama West Papua dia tidak bermaksud negeri yang Merdeka dan bernagara sendiri, sama sekali tidak. Sebab Presiden Wahid yang sama itu, katakan bahwa tidak bisa ada negara di bawa negara, ini bukti bahwa dia tidak bermaksud buat kasih kemerdekaan sama bangsa West Papua, mungkin dia maksud 'kemerdekaan otonomi' (mederka stenga). Kami, rakyat West Papua, sudah nyatakan lewat Proklamasi 1 juli 1971 bahwa kami kami telah MERDEKA, kami mau bernegara sendiri, diluar nagara Republik Indonesia (R.I.). Sama saja dengan Proklamasi R.I. pada 17 augustus 1945, sama saja. Rakyat Indonesia sejak hari itu nyatakan bahwa sudah Merdeka, dan mau bernegara sendiri diluar negera kolonis Belanda. Sampai dengan hari ini R.I. masih pegan 17 augustus 1945 sebagai hari kemerdekaannya.
Photo: Free West Papua Campaign( Oridek.Ap & Benny Wenda)
Kalau kami mau Menang dan Merdeka seperti R.I., kami harus tahan 1 juli 1971 sebagai hari kemerdekaan Republik West Papua, dan turuti anggaran-anggaran Proklamasi itu. Jangan kami sengaja lupah anak yang telah lahir dan hari lahirnya, seperti bapa-bapa Proklamasi yang tidak mau bertanggun jawab. Proklamasi 1 juli 1971 itu juga sebagai protes dan menentang kekalahan 1969. Dengan Proklamasi itu kami nyatakan bahwa, kami tidak akan ikut perjuangan yang diatur oleh negara-negara kolonis (seperti Belanda atur-atur kami di tahun limapuluan dan enampuluan) sampai bisa membawa kekalahan di tahun 1969 itu. Lewat Proklamasi kami kasih tunjuk bahwa perjuangan kita buat capai West Papua Merdeka 100%, tergantung dari kami bangsa West Papua sendiri. Kalau bapa-bapa Proklamasi (generasi tua) tidak mau dan bersengaja buat lupah tanggun jawab Proklamasi, kami anak anak Proklamasi (generasi muda) harus bertindak sendiri dan membelah Perjuangan Proklamasi, untuk capai West Papua MERDEKA 100%, diluar semua penjaja-penjaja. Waktu belum ada banyak kebebasan-kebebasan sudah ada Proklamasi, masyarakat sudah sadar dan bertindak di waktu-waktu dulu yang tidak ada kebebasan seperti sekarang, sampai sudah banyak di siksa dan di bunuh. Bapak saya Arnold Ap dan banyak pejuang-penjuang yang nama-nama mereka saya tidak kenal seperson, tetapi sebagai saudara/ saudari dalam perjuangan kemerdekaan, saya hargai mereka punya kontribusi yang luarbiasa. Kalau saudara/ saudari sadar dan hargai semua patriot yang telah pergi kemuka, saudara/ saudari harus sadar buat tahan teguh Hari Kemerdekaan kami itu. Gus Dur sendiri sudah katahkan bahwa tidak bisa ada negara dibawa negara, dan menurut saya kami harus waspada. Kalau Gus Dur injinkan kami buat bentukan sesatu 'parlemen' dan 'pemerinta' baru , berarti 'parlemen' dan 'pemerinta' itu bukan dengan maksud buat negara West Papua, tetapi buat propinsi West Papua. Jangan kami biarkan diri untuk dapat tipu lagi, seperti dulu Belanda tipu kami dengan janji-janjinya, yang dia tidak lunasi sampai hari ini. Belanda dulu kasih bangsa West Papua bendera 'Fajar' dan lagu bangsa 'Hai tanah ku Papua' juga bukan dengan maksud untuk lepaskan kami buat berdiri dan bernegara sendiri, sama sekali tidak. Indonesia itu sesatu negara yang sedang 'developing' dan ada banyak utang-utang sama negara-negara kapital, sebab Indonesia sendiri ingin jadi negara kapital. Sama saja seperti negara-negara kapital yang lain, Indonesia tidak akan terima pica belahan di dalam 'kesatuan' R.I. (Gus Dur sendiri sudah bilang) dan dia akan pakai semua cara-cara 'demokrasi', dengan maksud buat menjauhkan (kalau bisa matikan) gerakan-gerakan yang bersifat untuk bernegara sendiri. Kalau kita mau menang dan bernegara sendiri kita harus lihat kembali ke akar-akar perjuangan bangsa kita, pertanhankan 1 juli 1971 sebagai hari lahir Republik West Papua dan anggaran-anggarannya kita harus tahan sebagai anggaran-anggaran negeri kita. Sampai disini saja dulu, dan kalau saudara/ saudari rasa pendapat saya tidak betul atau tidak logis, kita bisa diskusi terus, terima kasi banyak buat saudara/ suadari punya waktu baca.
Papua Merdeka, salut!
"Berjuang terus tetap Menang"
25 februari 2000
Oridek Ap

Source: antenna.nl

- - -
Oleh: Ottis Simopiaref


Mengapa rakyat Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia?
Mengapa rakyat Papua Barat masih tetap meneruskan perjuangan mereka?
Kapan mereka mau berhenti berjuang?

Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun, yaitu:


1. hak

2. budaya
3. latarbelakang sejarah
4. realitas sekarang

ad 1. Hak

Kemerdekaan adalah »hak« berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan.
»All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue their economic, social and cultural development - Semua bangsa memiliki hak penentuan nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya mereka«
(International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1). Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be distinguished from the concept State - Bangsa digunakan dalam arti Rakyat (Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop Report No.1). Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya kebangsaan atau rakyat (A state can include several nations, meaning Nationalities or Peoples).
Ada dua jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri), yaitu external right to self-determination dan internal right to self-determination.
External right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua Barat di luar negara Indonesia. External right to self-determination, or rather self-determination of nationalities, is the right of every nation to build its own state or decide whether or not it will join another state, partly or wholly (Roethof 1951:46) - Hak external penentuan nasib sendiri, atau lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1). Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu hak penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh. Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah menikmati otonomi yang adalah haknya.

ad 2. Budaya

Rakyat Papua Barat, per definisi, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji. Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia. Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar, Bugis, Menado, dan lain-lain.
Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak bermaksud bahwa saya menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada Perang Dunia II). Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.

ad 3. Latarbelakang Sejarah

Kecuali Indonesia dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda, kedua bangsa ini sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang perkembangan sejarah. Analisanya adalah sebagai berikut:

Pertama: Sebelum adanya penjajahan asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.


Kedua: Rakyat Papua Barat memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri, di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar penjajahan asing.


Ketiga: Lamanya penjajahan Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).


Keempat: Batas negara Indonesia menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum), wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh Ottis Simopiaref).


Kelima: Pada Konferensi Meja Bundar (24 Agustus - 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran II pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).


Keenam: Papua Barat pernah mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.



Ketujuh: Dari 1 Oktober 1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di bawah United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun 1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional (international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua Barat di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling memiliki hubungan sejarah.


Kedelapan: Pernah diadakan plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional. Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri. (Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis Simopiaref).


Kesembilan: Rakyat Papua Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo (almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an, menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam Indonesia (Plunder in Paradise olehAnti-Slavery Society). Angganita Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij, Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua, Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.), Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan asing di Papua Barat.

ad 4. Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan bangsa lain. Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas, sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan) menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984 terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan empat pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta suaka politik. Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang pertama di dalam sejarah Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold Ap (alm.) merupakan manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan terbesar sejak tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan berdomisili di Papua New Guinea sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif di Papua Barat.
Dr. Thomas Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988 dengan memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat). Setahun kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember. Dr. Thom Wainggai dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun beliau kemudian meninggal secara misterius di penjara Cipinang. Papua Barat dilanda berbagai protes besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli). Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah satu pemimpin dari gerakan bulan Juli 1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma bersama beberapa temannya sedang ditahan di penjara Samofa, Biak sambil menjalani proses pengadilan. Gerakan Juli 1998 merupakan yang terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar. Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding gerakan-gerakan sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik perhatian dunia melalui media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta menyampaikan peringatan kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa ini. Di samping sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa pahitnya realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!« (Kita akan menang suatu ketika!).

Masa depan: Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah (state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda. (Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei 1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi, Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari hal ini.


Menurut catatan sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah meninggal sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah membuat sejarah hitam yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat, Yugoslavia dan Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf atas kebrutalannya menduduki beberapa daerah di Asia-Pasifik pada tahun 1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di berbagai negara Eropa Barat. Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman menjadi kaku jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke Israel. Berbagai media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian maaf untuk pertama kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri luarnegerinya, Madeleine Albright. "Amerika Serikat menyesalkan »kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di Amerika Latin selama perang dingin", kata Albright. AS ketika itu mendukung para diktator bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika Latin di mana terjadi pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia akan bersedia untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya dengan memohon maaf kepada rakyat Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu para penjahat perang di bekas Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia di kota Den Haag, Belanda. Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili, sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan ke Spanyol. Dia akan diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia berkuasa di Chili. Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan identitas dan kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat. Dokumentasi tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin ABRI ke tribunal di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap beberapa daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina dan Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara yang masih dijajah Inggris menerima Hadiah Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton, presiden Amerikat, yang mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998, mendengar pidato dari Yaser Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina harus ditinggalkan oleh Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang mengadakan tour di Afrika Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi konflik antara Front Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan Aljasaria masih berperang melawan Maroko yang menduduki Polisario (International Herald Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia Utara, Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak mereka dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda dari penjajah yang menduduki negeri mereka. Realitas sekarang menunjukkan bahwa rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang untuk membebaskan diri dari penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat membuktikan adanya perlawanan rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini merupakan manifestasi dari makna faktor-faktor budaya, latar-belakang sejarah yang berbeda dari Indonesia dan terlebih hak sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak untuk merdeka di luar Indonesia.


Sejarah Papua Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang meledak. Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau dihentikan oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan manusia bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi negara tetangga yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara dengan masyarakat internasional. Perjuangan akan dilanjutkan hingga perdamaian di Papua Barat tercapai. Anak-anak, yang orang-tuanya dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan ABRI tidak akan hidup damai selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan. Mereka akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan meneriakkan pekikan Martin Luther King, pejuang penghapusan perbedaan warna kulit di Amerka Serikat, "Lemparkan kami ke penjara, kami akan tetap menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami, dan ancamlah anak-anak kami, kami tetap mengasihi". Rakyat Papua Barat mempunyai sebuah mimpi yang sama dengan mimpinya Martin Luther King, bahwa »kita akan menang suatu ketika«.


===========================================

Tulisan di atas dipetik dari diktat berjudul Karkara karangan Ottis Simopiaref. Ottis Simopiaref lahir tahun 1953 di Biak, Papua Barat dan sedang berdomisi di Belanda sejak 14 Maret 1984 setelah bersama tiga temannya lari dan meminta suaka politik di Kedutaan Besar Belanda di Jakarta tanggal 28 Februari 1984.


Source: antenna.nl

- - - -

Lambertus Hurek
Jumat pagi, 8 Juni 2007, saya tak sengaja menemukan kaset Black Brothers di Jalan Semarang, Surabaya. Ini tempat orang berjualan buku-buku bekas paling ramai di Kota Surabaya, Jawa Timur. Ada satu dua pedagang yang menjual kaset-kaset lama.

Kondisi kaset-kaset lama benar-benar parah. Penuh debu, pitanya sudah tak karuan. Kalau paitua tidak hati-hati bisa-bisa dapat kaset rusak. Mau dengar lagu apa? Makanya, hati-hati beli kaset bekas di Surabaya. Di Jalan Pemuda, samping Plaza Surabaya, kondisi kaset-kaset lama masih lebih bagus.

Nah, saya putar Best of the Best Black Brothers di walkman, eh.. ternyata bagus. Seluruhnya 22 lagu. Baguslah untuk tahu benar-benar karakter musik, vokal, cara bertutur, syair... dari band musik yang pernah berjaya di tanah air itu. Wah, orang hitam keriting dari Papua ternyata punya band bagus. 

Black Brothers layak dicatat di buku sejarah musik pop Indonesia.

Sisi A: 

Hari Kiamat,
Derita Tiada Akhir,
Ammapondo,
Tiada Senyum di Akhir Senja,
Hilang,
Kr. Kenangan,
Kisah Seorang Pramuria,
Untukmu Pramuria,
Wainapire,
Musik Masa Kini,
Kr. Gunung Sicloop.


Sisi B: 

Terjalin Kembali,
Kali Kemiri,
Huembello,
Irian Jaya,
Doa Pramuria,
Balada Pramuria,
Pramuria tapi Biarawati,
Oh Sonya,
Persipura,
Terima Kasih. 


Saya senyam-senyum sendiri. Kok ada LIMA lagu yang bercerita soal pramuria dan semuanya ditulis Hengky MS? Apa paitua Hengky ini? Barangkali punya pengalaman khusus dengan pramuria alias wanita penghibur? Entahlah. Hehehe.... 

Yang jelas, syair lagu Black Brothers rata-rata menggambarkan pramuria yang ingin bertobat. Kembali ke jalan benar. Pramuria, begitu kata lagu ciptaan Hengky MS, ingin menjadi biarawati. Kenapa tidak?

Hengky, motor grup ini, juga bikin Kisah Seorang Pramuria. Selama ini saya sangka ditulis oleh Charles Hutagalung. Eh, ternyata paitua-paitua dari papua yang bikin. Bagus betul itu lagu. Melodius, selalu mengandung harapan. Habis gelap terbit terang! 

Semua lagu Black Brothers (lebih tepat sebagian besar), kecuali lagu rakyat, ditulis Hengky MS dan Jochie Phu.

Musik Black Brothers tipikal band tahun 1970-an. Melodinya manis, harmonis, tak berbelit-belit. Black Brothers pakai juga instrumen tiup [brass-wind instrument] sehingga lebih berwarna. Ada vokalis utama, pemusik lain membentuk kor atau suara latar. 

Pola lagu Black Brothers memang memberi peluang untuk 'pecah suara' di beberapa bagian. Saya rasa ini bukan hanya khas Papua, tapi juga Maluku, Batak, Flores, atau Timor Leste. Vokalis utama atawa lead vocal kadang-kadang berperan sebagai solis, kemudian disusul nyanyi bersama dalam tiga sampai empat suara. Ini pula yang bikin lagu-lagu Black Brothers berasa manis.

Selain dua lagu rakyat Papua, Ammapondo dan Huembello, di kaset kumpulan hit Black Brothers ini, ada dua lagu berirama keroncong. Kr. Kenangan [Hengky MS] dan Kr. Gunung Sicloop [Jochie Phu]. Ini menarik karena selama ini musik keroncong identik dengan orang Jawa. Teman-teman Black Brothers ternyata bisa membawakannya dengan baik meski dengan gaya pop.

Saya pribadi paling suka Hari Kiamat [Jochie Phu]. Lagu ini ternyata juga sangat disukai teman-teman di Jawa Timur. Banyak teman saya hafal lagu ini.

"Syairnya sangat menyentuh. Kita diingatkan akan hari kiamat ketika Tuhan mengadili semua manusia. Kita diajak untuk tidak hanya terpukau dengan materi dan segala kenikmatan duniawi," ujar Sujatmiko, pegawai swasta di Surabaya. 

"Saya kalau nyanyi di kafe atau tempat hiburan, ya, mesti Hari Kiamat.Lagunya enak banget, Mas. Ini lagu terbaik yang pernah saya dengar," pendapat Hartono Aje, mantan ketua Dewan Kesenian Sidoarjo, yang juga pengusaha kafe dan galeri lukisan di Sidoarjo.

Saya setuju 300 persen. Nah, berikut ini syair lagu Hari Kiamat yang legendaris itu.

HARI KIAMAT

Lagu/syair: Jochie Phu
Tempo : moderato (sedang)


Di tepi jalan si miskin menjerit
Hidup meminta dan menerima
Si kaya tertawa berpesta pora
Hidup menumpang di kecurangan

Sadarlah kau... cara hidupmu
Yang hanya menelan korban yang lain
Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan

Itulah hidup semakin biasa
seakan tak pedulikan lagi
Tiada kasih bagi yang lemah
Disiram banjiran air mata

Sadarlah kau cara hidupmu
Yang hanya menelan korban yang lain
Bintang jatuh hari kiamat
Pengadilan yang penghabisan


Penyanyi Black Brothers, Hengky Miratoneng, meninggal di Belanda pada 19 April 2006 akibat penyempitan zat kapur di punggungnya. Hengky dimakamkan di Manado setelah tiba di Bandara Sam Ratulangi Manado pada Sabtu 29 April 2006. Almarhum lahir di Inobonto, 16 Mei 1948.

Penyanyi bernama lengkap Hengky Sumanti Miratoneng ini dijemput istri tercinta, Meyske Unggu Sumanti, ditemani anaknya Arthur Miratoneng. Puluhan keluarga dan kerabat, juga penggemar, kompak mengenakan kaos hitam bertuliskan ‘Hengky MS Black Brothers'.

Hengky Miratoneng adalah salah satu musisi asal Sulawesi Utara yang menndirikan Black Brothers pada 1975 bersama Yohi Patipeiluhu (keyboard), Stevy Mambor (drum), Amrey Kaha (saksofon), Agus Rumaropen (gitar), Benny Betay (bas). 

Rest in peace, Sang Pahlawan Musik!
- -
POLITIK STIGMATISASI PADA PERJUANGAN RAKYAT 

PRIBUMI PAPUA BARAT

(Suatu Upaya RI Untuk Membunuh Penentuan Nasib Sendiri Bagi Bangsa Papua)

Oleh: Selpius A. Bobii

"Kami heran bahwa Kapolda Papua baru menjabat langsung tuduh KNPB adalah teroris, nah ini bagian dari pengacau keamanan, ini sangat keterlaluan, komentar Socratez S. Yoman, Ketua Umum Persekutuan Gereja- Gereja Baptis Papua. (Sumber: Bintang Papua, Jumat, 25 Januari 2013, hal. 3).
Tanggapan tokoh Gereja Papua, Socratez S. Yoman, S.Th. M.A menyikapi tudingan teroris oleh Kapolda Papua kepada aktifis Papua (Komite Nasional Papua Barat) adalah merupakan suara gereja menolak tegas tudingan teroris oleh Negara Indonesia melalui Kapolda Papua. Tanggapan tokoh Gereja itu juga menyatakan kepada Negara Indonesia dan negara-negara di dunia serta Perserikatan Bangsa-Bangsa bahwa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI. 
Dalam artikel ini, saya menyoroti beberapa pertanyaan fundamental yaitu: 
1). Mengapa Negara Indonesia menstigmatisasi perjuangan bangsa Papua dengan tudingan: separatis, makar, pengacau keamanan, teroris, dll?;  
2). Mengapa orang Papua bukan teroris, orang Papua bukan Makar, orang Papua bukan separatis, orang Papua bukan pengacau keamanan, orang Papua tidak merong-rong keutuhan NKRI?
 3). Bagaimana tanggapan masyarakat Internasional atas tudingan Pengacau Keamanan, Makar / Separatis, teroris, dll kepada orang asli Papua? 
4). Apa dampak stigmatisasi Pengacau keamanan, makar / separatis, teroris oleh RI terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua? 5). Bagaimana siasat menghadapi stigmatisasi terhadap orang Papua yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya? Kelima pertanyaan mendasar ini, saya uraikan satu persatu dalam artikel ini.

I. PEMBUNGKAMAN PERJUANGAN BANGSA PAPUA MELALUI STIGMATISASI.
Strategi dan taktik politik stigmatisasi yang digencarkan oleh Negara Indonesia melalui sistemnya terhadap aktifis Papua Merdeka adalah merupakan suatu langkah menutupi segala bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap orang Papua dan sebagai langkah pembenaran untuk menumpas orang asli Papua yang berjuang untuk kedaulatan Papua Barat. 
Ada tiga bentuk kejahatan kemanusiaan, yakni: Aneksasi kemerdekaan kedaulatan suatu bangsa; Kejahatan Perang, dan Pemusnahan etnis. Negara Indonesia telah dan sedang melakukan tiga kategori kejahatan kemanusiaan ini. Setelah Negara Indonesia berhasil menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua melalui invasi politik dan militer yang dimulai dengan Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI (Soekarno), 19 Desember 1961, Negara Indonesia masih terus menerus menerapkan operasi militer, baik secara terbuka dan terselubung (perang terbuka dan tertutup), yang berdampak pada pemusnahan etnis Papua secara pelan tapi pasti (slow motion genocide). Salah satu stigmatisasi yang muncul pada akhir-akhir ini adalah tudingan teroris kepada para aktifis Papua Merdeka, khususnya kepada aktifis Komite Nasional Papua Barat (KNPB). 

Berikut ini tingkatan stigmatisasi dari Negara Indonesia kepada orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh, yaitu: pertama-tama RI menyebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / Gerakan Pengacau Lingkungan (GPL), Separatis atau Makar, Orang Tak Kenal (OTK), Sipil bersenjata, dan Teroris. 
Sebutan Organisasi Papua Merdeka (OPM) dilabelkan oleh Negara Indonesia kepada orang Papua yang mengambil sikap untuk berjuang kemerdekaan Papua Barat. Menurut tuan Forkorus Yaboisembut S.Pd orang asli Papua menerima sebutan OPM setelah mempertimbangkannya dan ternyata sebutan OPM itu tepat dan benar. Kini OPM telah menjadi sebuah organisasi perlawanan yang menyatu dalam wadah TPN PB (Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat) yang struktur dan manajemen telah ada, walaupun belum ada komando terpusat. 
Sebutan Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) / GPL adalah sebutan kedua yang dimunculkan Negara Indonesia. Dengan adanya sebutan ini membenarkan tindakan penumpasan (operasi militer)terhadap orang asli Papua yang berjuang untuk berdaulat penuh. Juga melalui berbagai forum resmi dan non resmi Republik Indonesia (RI) meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa di Papua ada Gerakan Pengacau Keamanan. Dengan demikian meredam dukungan masyarakat Internasional soal status politik bangsa Papua. 
Stigmatisasi berikutnya adalah Makar atau Separatis kepada aktifis Papua Merdeka oleh Negara Indonesia. Stigmatisasi itu dilegalisasi dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yakni pasal 106 - 110 KUHP. Produk Hukum yang ditinggalkan oleh Kerajaan Belanda ini, dalam penerapannya telah memakan korban nyawa rakyat sipil dan materi dalam jumlah sangat banyak. 
Pasal-pasal makar dalam KUHP ini sebagai upaya pembenaran dan melegalkan operasi-operasi militer secara terbuka dan tertutup untuk menumpas gerakan pembebasan nasional Papua Barat, penangkapan dan pemenjaraan sewenang-wenang oleh RI. Pengorbanan moril dan materil yang dialami oleh rakyat bangsa Papua tidak dapat dibayangkan dan tak dapat dilukiskan dalam tulisan ini. Dan lebih mengerikan adalah pengorbanan nyawa rakyat bangsa Papua dalam jumlah banyak akibat operasi militer terbuka dan tertutup, serta operasi sipil. Singkatnya, stigmatisasi makar atau separatis yang dilegalkan dalam KUHP adalah sebagai tameng untuk melindungi diri dari berbagai kecaman dari masyarakat Internasional atas tindakan kejahatan kemanusiaan kepada orang asli Papua hanya demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 
Orang Tak Kenal (OTK) adalah istilah yang dimunculkan aparat polisi dan militer Indonesia untuk menunjuk pelaku penembakan yang tidak diketahui identitasnya. Menurut Agus Sananay Kraar (Tahanan Politik Papua di penjara Abepura) bahwa istilah OTK ini melahirkan multi tafsir, apakah dilakukan oleh pihak Papua atau pihak Indonesia; dan dapat mengarah pada kambing hitam kepada orang Papua, saling tuduh menuduh pun terjadi. Selain itu, ada istilah lain yang digunakan adalah kelompok sipil bersenjata dan juga manusia bertopeng. 
Stigmatisasi kepada aktifis Papua Merdeka yang paling terakhir adalah tudingan Teroris. Tudingan ini bukan tiba waktu tiba akal, tetapi ini sebuah skenario besar Negara Indonesia yang sudah lama dirancang untuk menterorisasi perjuangan bangsa Papua dalam upaya membunuh nasionalisme Papua Merdeka, dengan demikian memperpanjang penindasan dan gerakan aktifis Papua Merdeka menjadi musuh dunia. Upaya terorisasi perjuangan bangsa Papua oleh Negara Indonesia melalui sistemnya adalah langkah Indonesia untuk meningkatkan status operasi-operasi militer, baik secara terbuka dan tertutup karena upaya-upaya lain yang selama ini diterapkan oleh RI di Papua Barat tidak membuahkan hasil yang signifikan. 
Berbagai rekayasa dilakukan Negara Indonesia untuk membuat mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Dengan jalan ini membunuh dukungan masyarakat Internasional terhadap perjuangan bangsa Papua. Berikut ini saya mengutip pernyataan Ed McWilliams: Tuduhan tindakan-tindakan kriminal oleh beberapa anggota KNPB tidak dibenarkan dengan kuat dan biasanya RI berupaya untuk menjelekkan nama organisasinya. KNPB dan banyak organisasi lain di Papua maupun setiap pribadi memang sedang mendorong untuk hak orang Papua diakui, khususnya hak menentukan nasib sendiri yang sudah sangat lama tidak diakui. Tetapi semua usaha ini secara umum dilakukan tanpa kekerasaan, demikian komentarnya. Artikel tuan Ed McWilliams lengkapnya silahkan Anda kunjungi: www.westpapuamedia.com artikelnya dinaikan pada tanggal 2 Februari 2013. 


II. ORANG PAPUA BUKAN MAKAR, BUKAN TERORIS, DLL. 


Akar masalah Papua Barat bukan masalah makan minum artinya bukan masalah kejahteraan, bukan masalah pendidikan, bukan juga masalah kesehatan, tetapi akar masalah Papua adalah hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang telah dianeksasi ke dalam NKRI secara sepihak melalui invasi politik dan militer atas dukungan penuh Amerika Serikat. Rakyat bangsa Papua berjuang hanya untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang. 
Fakta membuktikan bahwa justru negara Indonesia dapat dikategorikan ke dalam pengacau keamanan (pengacau lingkungan), makar/separatis, mendirikan negara dalam negara, merong-rong kedaulatan Papua Barat dan sarang teroris. Berikut ini penjelasan ku untuk membuktikan pernyataan di atas: 
1). Siapa yang sebenarnya pengacau keamanan? Justru yang mengacaukan keamanan di Tanah Papua adalah negara Indonesia yang telah menganeksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI melalui Maklumat Tri Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI, Soekarno, pada tanggal 19 Desember 1961, yang selanjutnya diwujudkan melalui invasi militer dan politik, yang berpuncak pada Penentuan Pendapat Rakyat Papua pada tahun 1969 yang kita sebut Cacat Hukum dan Moral. Dalam proses aneksasi itu didukung penuh oleh Amerika Serikat hanya untuk mencapai kepentingan ekonomi dan politik semata. Justru negara Indonesia melalui mesin-mesinnya mengacaukan keamanan di Tanah Papua untuk mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI yang telah dianeksasi dengan cara-cara kotor dan tidak beradab. 
2). Siapa pembuat makar sesungguhnya? Justru Negara Indonesia yang melakukan makar atas kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua. Sejak tahun 1962 Negara Indonesia meningkatkan Invasi politik dan militer untuk mewujudkan Maklumat Tiga Komando Rakyat (TRIKORA) oleh Presiden RI. Aneksasi kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua ke dalam NKRI adalah tindakan makar yang dilakukan oleh Negara Indonesia. Karena itu tudingan makar dari RI kepada orang Papua yang berjuang untuk pembebasan bangsa Papua tidak dapat dibenarkan. 
3). Siapa sebenarnya yang mendirikan negara dalam negara? Yang mendirikan negara dalam negara adalah justru Negara Indonesia. Hal ini dapat dibuktikan dalam maklumat Tri Komando Rakyat oleh Prisiden RI, Soekarno dalam point pertama menyatakan: Bubarkan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda. Dalam point ini mengandung tiga hal penting, yakni: a). Negara Indonesia telah mengakui adanya negara Papua Barat; b). Tapi Negara Papua Barat itu dihina sebagai negara boneka; c). Negara Papua Barat itu harus dibubarkan. Camkanlah bahwa pengakuan presiden Indonesia adanya negara Papua dalam maklumat TRIKORA itu sah dan mengikat. Dan di sisi lain maklumat TRIKORA itu adalah bukti outentik adanya aneksasi Negara dan Bangsa Papua ke dalam NKRI. 
4). Siapa sebenarnya yang merong-rong kedaulatan? Tudingan merongrong kedaulatan NKRI oleh Negara Indonesia sangat tidak tepat ditujukan kepada rakyat bangsa Papua yang sudah dan sedang serta akan berjuang untuk memulihkan hak-hak dasarnya, terutama hak fundamental yakni hak kesulungan rakyat bangsa Papua (kemerdekaan kedaulatan) yang telah dianeksasi ke dalam NKRI dengan sewenang-wenang. Jusrtu negara Indonesia telah berhasil merong-rong kedaulatan Papua Barat dan berhasil aneksasi bangsa Papua Barat ke dalam NKRI. Camkanlah bahwa orang asli Papua berjuang bukan untuk menganeksasi atau mencaplok tanah Jawa, Tanah Sulawesi, Tanah Madura, dan lain lain, tetapi bangsa Papua berjuang untuk tanah leluhurnya berdaulat penuh (merdeka) sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia. Jadi orang asli Papua tidak sama sekali merong-rong kedaulatan Tanah-Tanah lain di Indonesia. Orang asli Papua berjuang untuk hak-hak dasarnya diakui dan dikembalikan, seperti hak kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua, yang dijamin oleh konstitusi NKRI pada pembukaan Undang-undang Dasar 1945 pragraf pertama dan hukum Internasional. 
5). Siapa penganut teroris sesungguhnya? Istilah teroris tidak ada dalam perjalanan hidup bangsa Papua. Nenek moyong bangsa Papua tidak pernah mempraktekkan dan mengajarkan kepada anak cucuhnya untuk meneror disertai dengan pembunuhan warga sipil dengan sewenang-wenang. Walaupun ada perang suku di Papua, tetapi kedua belah pihak tunduk dan taat pada tata cara perang suku yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Bukan perang dengan sewenang-wenang seperti yang dilakukan oleh militer dan polisi Indonesia di mana dalam operasi militer memperkosa, mencuri, membakar rumah-rumah warga sipil, mengusir warga sipil dari perkampungan, membunuh anak-anak dan istri dari pihak lawan dengan brutal; serta mengadu domba suku-suku setempat untuk saling membunuh dan hal itu digunakan oleh Negara Indonesia sebagai bahan kampanye bahwa itu adalah perang suku. 
Dalam perjuangan bangsa Papua pun, para aktifis Papua Merdeka tidak pernah menerapkan tindakan teror kepada warga sipil. Yang ada adalah gerakan perjuangan pembebasan nasional Papua dengan menempuh cara-cara damai dan tentang hal ini ditetapkan dalam Kongres Bangsa Papua pada tahun 2000. Aktifis Papua merdeka tidak pernah menggunakan bom untuk menarik simpati internasional atau menakuti warga sipil. 
Aksi perlawanan oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) dirimba raya Papua yang seringkali kontak senjata dengan Polisi dan militer Indonesia adalah hal yang biasa dalam perjuangan pembebasan nasional di mana pun di dunia yang pernah berjuang untuk merdeka. Dengan adanya kontak senjata itu, TPN PB menunjukkan eksistensi nasionalisme pembebasan bangsa Papua dan menolak pendudukan pemerintahan Indonesia di Tanah Papua. Sama seperti bangsa Indonesia memerdekakan dirinya dari penjajahan Belanda dengan perlawanan senjata dari Tentara Indonesia, TPN PB sebagai sayap militer melaksanakan fungsinya. Sasaran TPN PB adalah kepada Polisi dan TNI, bukan kepada warga sipil. Wacana selama ini bahwa TPN PB menembak warga sipil adalah tidak benar dan itu hanyalah rekayasa aparat Indonesia untuk membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat Internasional. Kalaupun ada, itu dilakukan oleh oknum (pribadi) mungkin karena alasan atau kepentingan tertentu atas
  permainan pihak tertentu, bukan perintah pimpinan TPN PB. Karena itu sangat tidak masuk akal dan tidak dapat dipertanggung jawabkan jika dari pihak Negara Indonesia dapat beranggapan bahwa TPN PB atau aktifis Papua Merdeka itu identik dengan teroris. 
Camkanlah bahwa hukum anti terorisme itu baru saja dilahirkan bersamaan dengan ancaman-ancaman terhadap fasilitas umum dan menakuti warga sipil, seperti pemboman terhadap gedung raksasa di Amerika Serikat yang disebut kantor pusat perekonomian dunia (WTC). Pasca pemboman gedung pencakar langit itu, Amerika Serikat menyerukan perang terhadap terorisme. Disaat yang sama pula Indonesia mendevinisikan terorisme sesuai kehendaknya hanya sebagai tameng untuk kepentingan menjaga teritorial NKRI dan ancaman keamanan serta ketertibaan umum. 
Berikut ini saya mengutip devinisi teroris menurut satuan Densus 88 yang dimuat dalam pidato ibu Sidney Jones; ada dua macam kategori terorisme, yaitu pertama, orang Islam radikal; kedua, orang separatis / nasionalis etno (www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx).
Devinisi teroris kategori kedua ini sangat aneh dan memalukan. Dengan adanya devinisi kategori ke dua ini dapat melegitimasi Densus 88 dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) sedang berusaha untuk menumpas aktifis Papua merdeka yang sudah berjuang lama sebelum devinisi teroris itu dilahirkan. Ironis memang, tapi nyata bahwa langkah ini ditempuh RI setelah metode-metode lain yang diterapkan selama ini gagal menumpas gerakan pembebasan bangsa Papua. Tetapi apakah upaya RI untuk menerapkan hukum anti terorisme di Papua akan berhasil? 
Sesungguhnya Negara Indonesia mengintropeksi diri sebelum menerapkan hukum anti terorisme di Papua. Jika itu diterapkan di Papua, maka tindakan itu hanyalah menuai kritik dan memalukan nama Indonesia dikancah masyarakat Internasional. Mengapa saya katakan demikian? Masyarakat internasional telah tahu dan paham bahwa perjuangan bangsa Papua itu bukan mengacaukan keamanan, bukan makar/ separatis, bukan teroris yang menakuti warga sipil, tetapi perjuangan bangsa Papua adalah untuk memulihkan kembali kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua yang dianeksasi secara sepihak ke dalam NKRI pada tahun 1960 - an. 
Masyarakat Internasional sudah tahu bahwa sarang teroris itu hanya ada di wilayah-wilayah Indonesia tertentu dibagian barat dan tengah yang berpenganut Islam Radikal yakni jihad. 

III. TANGGAPAN MASYARAKAT INTERNASIONAL ATAS STIGMATISASI. 
Taktik politik stigmatisasi Negara Indonesia kepada aktifis Papua merdeka melahirkan berbagai kontro versi dikalangan masyarakat Internasional. Secara umum ada tiga sikap muncul menyikapi stigmatisasi itu, yakni: ada orang yang pro stigmatisasi artinya mendukung stigmatisasi RI, dan ada juga orang yang kontra stigmatisasi artinya menolak stigmatisasi RI. Dan ada orang yang mengambil sikap netral (tidak juga pro, tidak juga kontra). Selain itu ada pula masyarakat internasional yang sangat tidak tahu (buta) dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua oleh Negara Indonesia. 
Mengambil sikap pro dan kontra serta sikap netral untuk menyikapi suatu hal dalam dinamika kehidupan umat manusia di dunia adalah wajar dan biasa. Masing-masing sikap dan tindakan: pro, kontra, dan netral yang ditampilkan itu tentu memiliki latar-belakang pemahaman atas masalah dan gerakan perjuangan bangsa Papua yang berbeda-beda. 
Ada orang yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka karena memang watak dan karakternya anti penegakkan kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, kebebasan, demokrasi, dan Hak Asasi Manusia. Ada pula orang mendukung stigmatisasi RI kepada aktifis Papua merdeka, walaupun ia tidak memahami baik latar belakang berbagai masalah di Tanah Papua, tetapi karena dipengaruhi oleh Negara Indonesia melalui berbagai kampanye dan lobi dalam forum-forum resmi dan non resmi di negara-negara dan dalam forum PBB. 
Mereka yang berhasil dipengaruhi oleh RI, tentu memainkan peran ganda, di lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat dan negara asalnya untuk tidak mendukung perjuangan penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua dan lain sisi mereka mempengaruhi masyarakat Internasional di negara-negara di dunia melalui jaringan kerja atau media cetak atau elektonik untuk tidak mendukung perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh. Ada pula pendukung stigmatisasi tertentu memberikan dukungan penuh kepada Negara Indonesia untuk menumpas gerakan pembebasan Nasional Papua Barat. 
Bagi masyarakat Intenasional tertentu yang mendukung stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia yang dilegalkan melalui produk hukum Indonesia, mereka itu secara sadar atau tidak sadar, secara langsung maupun tidak langsung telah mendukung penuh upaya sistematis dan terencana yang dipraktekkan oleh Indonesia untuk memarginalisasi, mendiskriminasi, membuat ketidak-adilan, membuat orang Papua menjadi minoritas di Tanah Papua, dan etnis Papua menjadi punah secara perlahan tetapi pasti (slow motion genocide). 
Sedangkan bagi masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi (menolak stigmatisasi) kepada para aktifis Papua merdeka adalah mereka yang memahami baik tentang akar permasalahan dan penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi bangsa Papua serta memahami baik tentang nilai-nilai universal dan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB serta menegakkannya. Mereka bukan hanya menolak stigmatisasi tanpa tindakan, tetapi diantara mereka, ada pula yang mengorbankan tenaga, waktu, moril dan materilnya untuk mendukung perjuangan rakyat bangsa Papua. Mereka ini masuk dalam kategori sayap keempat, yakni sayap simpatisan. Mereka memperkuat tiga sayap perjuangan Papua, yakni sayap sipil, militer dan diplomat. 
Para simpatisan melakukan berbagai bentuk aktifitas untuk menaikan publikasi internasional dan mendesak pemerintahan asalnya serta PBB, juga Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah kongkrit guna menyelesaikan masalah-masalah di Papua Barat. Keterpanggilan mereka dalam mendukung perjuangan bangsa Papua adalah murni keterpanggilan kemanusiaan. Tidak ada kepentingan lain, kecuali kepentingan untuk menyelamatkan rakyat bangsa Papua dari diskriminasi, marginalisasi, ketidak-adilan, minoritas dan kepunahan etnis Papua secara perlahan tetapi pasti. Mereka bekerja tanpa pamrih, bekerja tanpa upah. Satu hal yang tidak dapat diambil dari mereka yang menaruh hati bagi penderitaan rakyat pribumi Papua adalah melalui sikap dan tindakan solidaritas itu, mereka menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupannya masing-masing. 
Sementara itu ada pula masyarakat Internasional yang memilih sikap netral. Sikap itu diambil karena ada beberapa pertimbangan, antara lain: 1) Mungkin mereka tidak mau ambil resiko karena setiap sikap pro atau kontra yang diambil tentu ada pengorbanan (pengorbanan berupa materil maupun moril); 2) Mungkin tidak mau ambil pusing karena tidak simpati dengan penindasan yang terjadi di Tanah Papua; 3) mungkin juga tidak mau hubungan kerja sama antara mereka dan RI tidak terganggu, artinya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan politik mereka, ketimbang mendukung gerakan Papua yang tidak memberi manfaat secara langsung dalam kehidupan mereka; 4) mungkin juga karena ada alasan lain. 
Masyarakat Internasional yang tergolong dalam kategori keempat yang tidak tahu tentang masalah darurat kemanusiaan terselubung di Tanah Papua itu tentu terjadi karena mereka tidak mengikuti dinamika kehidupan masyarakat global melalui media cetak maupun elektonik. Dan ini tentu dilatar belakangi oleh beberapa faktor, antara lain: 1) mungkin karena segala waktu difokuskan pada pekerjaan dan rutinitas harian mereka; 2) Mungkin tidak tersedianya sarana komunikasi, media cetak dan elektronik; 3) mungkin karena ada alasan lain, seperti lanjut usia, cacat fisik, dan lain sebagainya. 

Berikut ini saya menampilkan beragam tanggapan masyarakat internasional terhadap stigmatisasi kepada aktifis Papua merdeka oleh Negara Indonesia. 


Stigmatisasi: makar, separatis, teroris, dan sebagainya yang telah dilegalisasi dalam suatu produk hukum Indonesia telah menuai kontro versi. Masyarakat Internasional yang kontra stigmatisasi, baik secara individu atau lembaga, seperti Amnesti Internasional, ETAN, HRW, Group-group pendukung di dunia, dan Dewan HAM PBB telah berkali-kali mengecam Pemerintah Indonesia untuk menghentikan stigmatisasi makar, separatis, teroris dll, menghentikan kekerasan dan meminta pemerintah Indonesia menyelesaikan masalah-masalah Papua dengan demokratis dan bermartabat. 

Salah satu kampanye yang menguat di masyarakat Internasional adalah terkait penerapan hukum makar di Indonesia. Mereka medesak Negara Indonesia segera mencabut hukum tertentu seperti hukum makar yang melegalkan tindakan sewenang-wenang oleh aparat keamanan dan militer Indonesia terhadap rakyat sipil karena sikap dan tindakan RI itu: 1) Mengabaikan nilai-nilai universal yang dijunjung tinggi oleh umat manusia di dunia, seperti: demokrasi, kebenaran, keadilan, kejujuran, kedamaian, Hak Asasi Manusia dan kebebasan; 2) Melanggar prinsip-prinsip Dasar Deklrasi Umum Hak Asasi Manusia oleh PBB dan kovenan-kovenan Internasional lainnya, seperti Deklrasi Hak-Hak Dasar Masyarakat Pribumi, Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik; dan Kovenan Internasional tentang hak-hak sosial budaya, ekonomi dan politik. 

Salah satu kasus tuduhan makar yang dijerat kepada tuan Filep J. S. Karma di mana beliau dipenjara selama 15 tahun menjadi kasus yang sangat diseriusi oleh masyarakat solidaritas Internasional. Para simpatisan melalui beberapa pengacara hukum Internasional membawa kasus tuan Filep ke arbitrasi Internasional di PBB. Sesuai keterangan dari tuan Filep bahwa gugatan ke arbitrasi internasional itu dimenangkan oleh Filep pada tahun 2011 dengan keputusan: Penahanan Filep J. S. Karma oleh Negara Indonesia adalah penahanan sewenang-wenang (penahanan illegal) maka Pemerintah Indonesia harus segera bebaskan tanpa syarat. Namun, sampai saat ini keputusan itu tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia. Tuan Filep masih di dalam penjara Abepura. 
Selain itu salah satu Pidato yang menuai kontro versi adalah: Separatisme Papua vs Teroris Jihad: Dilema-Dilema Kebijakan Indonesia. Pidato ini disampaikan oleh Ibu Sidney Jones dalam program Kebijakan Internasional di Universitas Stanford Amerika Serikat pada tanggal 05/12/2012 dan diperbaiki pada 22/01/2013 serta dipublikasikan lewat internet:www.crisisgroup.org/en/publication-type/speeches/2013/jones-papuan-separatists.aspx.

Dalam pidato ibu Jones itu membandingkan dua gerakan di Indonesia: pertama gerakan Papua, yang beliau sebut: Separatis Papua; dan kedua, gerakan jihad teroris. Jones mengatakan: kedua gerakan yakni Jihad teroris dan gerakan orang Papua yang sedang berjuang untuk merdeka membuat tindakan jahat yang mirip, walaupun mereka selalu dituduh dengan pandapat berbeda. Dalam pidato itu ia berusaha menggali informasi dari berbagai sumber untuk berusaha menyamakan aktifitas Pejuang Papua ke dalam ranah teroris. 

Berikut ini kutipan pidato dari ibu Jones: Setahu saya, hingga sekarang belum ada upaya sistemnya untuk mempromosikan kelepasan dari ikatan kekerasaan di Papua, walaupun mungkinKAPOLDA akan baru memulai suatu program seperti itu nanti. 
Pernyataan ibu Jones di atas, secara terselubung beliau mendukung upaya tudingan teroris yang diungkapkan oleh Kapolda baru, Tito Karniavan kepada aktifis KNPB. Sebaiknya Ibu Jones tidak secara langsung menuduh gerakan Papua semirip teroris. 
Ibu Jones tidak tahu siapa sesungguhnya yang menciptakan kekerasan di Tanah Papua. Berikut ini tanggapan Ed McWilliams: Khususnya di Papua Barat di mana rivalitas polisi militer tentang akses pada sumber alam dan pemerasan sangat terkenal. Sebaiknya Jones tahu pula bahwa militer, polisi dan aparat-aparat inteligen Indonesia sudah lama sekali berperan sebagai pelaku yang menimbulkan dan merekayasa tindakan kekerasaan untuk mencapai tujuan-tujuan terselubung, demikian komentarnya. 
Pernyataan ibu Jones seolah-olah pihak TNI dan POLRI tidak melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap orang asli Papua, padahal justru TNI dan POLRI menjadi dalang dan pemicu kekerasan yang berkepanjangan di Tanah Papua hanya demi mencapai kepentingan politik dan ekonomi semata. Untuk mencapai kepentingan-kepentingan itu, berbagai skenario secara teratur, rapih dan sistematis dimainkan oleh kaki tangan RI di Tanah Papua, seperti yang terjadi dalam demonstrasi damai pada tanggal 16 Maret 2006 di Abepura yang berakhir bentrok dengan aparat polisi. 
Kasus ini murni didalangi dan dimainkan oleh aparat polisi dan intelijen Indonesia bekerja sama dengan pihak tertentu yang menjadi mitra kerja mereka. Di pihak polisi kasus ini mengakibatkan tiga brimob dan satu militer TNI angkatan udara tewas serta beberapa polisi mengalami luka berat dan ringan. Dan di pihak warga sipil, beberapa orang mengalami luka tembak, selanjutnya polisi/brimob menggelar penyisiran brutal di Abepura dan sekitarnya. Akibat penyisiran membabi buta oleh polisi itu mengalami: pengrusakan fasilitas dibeberapa asrama mahasiswa, teror intimidasi terhadap warga sipil, penangkapan sewenang-wenang, disertai penyiksaan brutal akibatnya banyak orang mengalami luka berat dan ringan. 
Tragedi kelabu 16 Maret 2006 itu adalah skenario tingkat tinggi yang dikemas secara teratur dan rapih oleh pihak aparat dan intelijen Indonesia hanya untuk mencapai empat kepentingan, yakni: 1) Untuk meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema di negara-negara dunia dengan tuntutan sentral: tutup PT Freeport Indonesia di Timika- Papua, dan AS, RI dan Papua mengadakan dialog atau perundingan; 2) Bagi pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung untuk meredam demonstrasi itu mendapatkan imbalan atau balas jasa, antara lain berupa uang; 3) Untuk menaikan pangkat dan jabatan bagi aparat Indonesia yang terlibat dalam meredam demonstrasi damai yang meluas dan menggema itu; 4) Untuk membangun mosi tidak percaya dan mendegragasikan perjuangan pembebasan bangsa Papua. 
Pasca tragedi itu, untuk mengelabui publik Internasional, aparat polisi dengan sewenang-wenang menangkap seratus lebih orang Papua yang mayoritasnya adalah mahasiswa. Dan hanya 24 orang saja dipenjara di Abepura dengan hukuman berat paling tinggi 15 tahun. Mereka itu sebenarnya bukan pelaku pembunuhan brimob dan militer dalam tragedi 16 Maret 2006 itu. Tetapi demi melindungi dan menyembunyikan permainan aparat Indonesia, 24 orang itu divonis bersalah dan dipenjara. 
Jones sebagai senior aktifis HAM sudah tahu bahwa selama ini Negara Indonesia tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat untuk melihat dan mendengar langsung penderitaan dan harapan hidup orang asli Papua. Ibu Jones mestinya bertanya: Kenapa tidak memberikan akses bagi wartawan asing dan pekerja kemanusiaan asing masuk ke Papua Barat, seperti tidak memberi ijin bagi pelapor khusus PBB yang membidangi kebebasan berekspresi untuk datang ke Papua Barat dan Ambon pada bulan Januari 2013? Jawabannya: Negara Indonesia takut terbongkar segala bentuk penindasan terhadap orang asli Papua dan orang Ambon-Maluku. 
Nampaknya ibu Jones belum memahami baik tentang latar belakang sejarah bangsa Papua yakni distorsi sejarah yang menjadi akar permasalahan di Papua Barat. Ibu Jones juga belum melihat secara langsung bagaimana orang Papua hidup dalam tekanan, intimidasi dan teror dari TNI dan POLRI, ia pun belum melihat secara langsung bagaimana orang asli Papua semakin dimarginalisasi, semakin didiskriminasi, menjadi minoritas, mengalami ketidak-adilan, dibantai oleh TNI dan POLRI melalui operasi militer terbuka maupun tertutup; akibat dari penindasan RI dan para sekutunya itu, orang asli Papua saat ini sedang menuju kepunahan etnis secara perlahan, tetapi pasti. Karena ibu Jones belum melihat langsung dan belum mengalami betapa pahitnya penindasan RI kepada orang asli Papua, maka itu dalam pidatonya ia berusaha memojokkan perjuangan bangsa Papua untuk penentuan nasib sendiri dan berusaha menyamakan gerakan pembebasan bangsa Papua dengan gerakan jihad teroris di Indonesia. 
Dalam pidatonya, ibu Jones tidak mengangkat segala bentuk pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Negara Indonesia kepada rakyat pribumi Papua sejak tahun 1962 sampai saat ini. Dari isi pidatonya, kami tahu bahwa ibu Jones berusaha menyembunyikan segala bentuk penindasan RI dan berusaha membangun mosi tidak percaya terhadap perjuangan rakyat bangsa Papua. Ibu Jones sebagai senior dalam bidang HAM semestinya dengan jujur mengungkapkan fakta-fakta penindasan dari Negara Indonesia dan para sekutunya yang dialami oleh orang asli Papua. Dengan demikian saya menilai bahwa dalam pidato itu ibu Jones memposisikan diri bukan sebagai aktifis HAM, bukan juga sebagai ilmuwan, tetapi memposisikan diri sebagai mitra kerja dari Negara Indonesia dan secara tidak langsung ibu Jones mendukung segala bentuk penindasan RI kepada rakyat pribumi Papua Barat. 
Pidato yang dibuat Jones ini tergolong seruan atau memotifasi kepada Negara Indonesia untuk meningkatkan penumpasan aktifis Papua merdeka, yaitu dari penerapan hukum makar /separatis ditingkatkan ke penerapan hukum anti terorisme, dan dengan demikian membunuh penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Pidato itu ditanggapi juga oleh Ed McWilliams, berikut ini kutipan tanggapannya: Seruan Jones untuk Indonesia mendefinisikan seperatisme sebagai terorisme akan mengeraskan usaha menargetkan suara para aktifis/kelompok yang menyampaikan dengan damai tidak disetujui dan sekaligus meningkatkan intimidasi terhadap orang Papua secara umum, demikian komentarnya. 
Dalam pidato itu ada sisi lain yang penting dihargai. Saya selaku tahanan politik Papua yang saat ini berada dalam Penjara Abepura, saya memberikan apresiasi kepada ibu Jones karena melalui pidato itu memberikan peringatan dini kepada para aktifis Papua Merdeka untuk menghindari skenario besar secara terselubung yang didorong oleh RI untuk menumpas gerakan pembebasan Papua Barat dengan meningkatkan dari status separatis ke status teroris. Selain itu, di sisi lain pidato ibu Jones juga memberikan masukan bagi Indonesia untuk tidak menggunakan hukum anti terorisme. Berikut ini komentar ibu Jones: Salah satu solusinya adalah untuk tidak menerapkan hukum anti-terorisme di Papua, dan juga untuk berhenti menggunakan hukum itu terhadap para jihad yang membuat kejahatan yang pada pokoknya tidak merupakan tindakan dengan sengaja yang bertujuan menciptakan ketakutan, yaitu berbagai tindakan yang bisa dihukum dengan menerapkan hukum lain termasuk kode hokum kriminal untuk kejahatanseperti pembunuhan, perampokan dan sergapan, demikian pernyataannya. 

IV. DAMPAK STIGMATISASI YANG DILEGALKAN DALAM HUKUM RI. 

Berbagai stigmatisasi oleh RI kepada aktifis Papua merdeka yang dilegalkan dalam produk hukum Indonesia telah melemahkan perjuangan bangsa Papua, namun pada saat yang sama pula mengobarkan semangat perjuangan Pembebasan Papua Barat dan meningkatkan dukungan solidaritas masyarakat Internasional. 
Stigmatisasi yang dilegalisasi melalui produk hukum seperti hukum makar itu di lain sisi dapat membunuh psikologis orang asli Papua untuk berjuang, berusaha membungkam suara kebebasan, berupaya mendegradasikan gerakan perlawanan dan menumpas aktifis Papua merdeka, banyak orang Papua dibunuh, banyak orang Papua menderita, banyak materi korban, banyak orang Papua mengungsi ke negara-negara lain, penangkapan sewenang-wenang, pemenjaraan, membangun mosi tidak percaya kepada masyarakat internasional agar menurunkan dukungan mereka atas Papua, tetapi pada sisi lain menumbuhkan nasionalisme kebangsaan Papua, membangkitkan keberanian untuk memperjuangkan pembebasan Papua dan meningkatkan simpati masyarakat internasional. Negara Indonesia berpikir bahwa dengan melakukan tindakan sewenang-wenang, orang asli Papua akan berhenti berjuang, namun anggapan ini tidak berhasil dan Negara Indonesia telah gagal total meng-indonesia-kan orang asli Papua.
Dalam sejarah perjuangan bangsa-bangsa di dunia yang sudah berdaulat penuh (merdeka), yang namanya ideologi pembebasan nasional itu tidak pernah musnah. Ideologi itu mengalir dalam darah nadi dari generasi ke generasi. Sepanjang generasi penerus ideologi itu masih ada, maka selama itu pula ideologi pembebasan nasional itu tetap mengalir dalam darah nadi setiap generasi penerus. Karena itu istilah para penguasa Negara mana pun untuk menumpas ideologi sampai ke akar-akarnya tidak pernah berhasil. Ideologi itu akan musnah, apabila tidak ada generasi yang dapat meneruskan ideologi para pendahulunya. 
Demikian pula perjuangan bangsa Papua untuk berdaulat penuh (merdeka). Sepanjang masih ada penerus ideologi pembebasan nasional Papua, maka selama itu pula ideologi Papua merdeka terus mengalir dalam darah nadi orang asli Papua. Ideologi Pembebasan Nasional itu musnah, apabila etnis Papua musnah dari muka bumi ini. 
Negara Indonesia melalui sistemnya dapat membunuh orang Papua satu persatu melalui berbagai operasi terbuka dan tertutup, tetapi RI tidak akan pernah membunuh ideologi Pembebasan Nasional Papua Barat. Negara Indonesia melalui TNI dan POLRI menangkap dan memenjara orang asli Papua satu persatu, tetapi RI tidak akan pernah memenjara semangat nasionalisme. Negara Indonesia dapat memaksa menerapkan Paket Politik Undang-undang Otonomi Khusus di Tanah Papua sebagai tawaran untuk tetap berada dalam NKRI, tetapi Otonomi Khusus itu tidak akan pernah menawarkan hati dan tidak melemahkan orang asli Papua untuk berjuang kebebasan total. Berbagai operasi militer ditempuh untuk meredam perjuangan bangsa Papua, tetapi moncong senjata polisi dan militer Indonesia tidak pernah meredam suara kebebasan bangsa Papua. 
Dari sejak tahun 1962 sampai tahun 1998 rakyat bangsa Papua berada dibawah kekuasaan tangan besi (rejim Soekarno di jaman orde lama dan rejim Soeharto di jaman orde baru) dilarang untuk melakukan aktifitas Papua Merdeka apa pun; mengucapkan kata Papua saja ditumpas dengan tangan besi. Tetapi di era itu pun nasionalisme kebebasan nasional Papua tumbuh subur, apalagi mulai era reformasi sejak tahun 1998 bersamaan dengan penggulingan resim tangan besi (alm Soeharto), nasionalisme kebebasan Papua yang disumbat, krans itu terbuka dan kini nasionalisme kebebasan itu telah mengalir ke berbagai penjuru dunia. Nasionalisme kebebasan Bangsa Papua itu tumbuh subur di atas air mata darah, nasionalisme itu terbangun kokoh di atas tulang belulang para pejuang pendahulu Bangsa Papua, dan jalan setapak menuju kebebasan nasional Papua Barat yang dirintis para pejuang pendahulu itu, kini makin meluas dan semakin hari semakin permanen. 

V. KIAT-KIAT MENGHADAPI STIGMATISASI. 
Tidak ada cara lain untuk menghadapi stigmatisasi RI yang dilegalkan dalam produk hukum jikalau orang asli Papua tidak menempuh dengan jalan perlawanan apa pun resiko. Apa pun jenis stigma yang dilabelkan pada orang Papua, apa pun hukum yang mengekang kebebasan berekspresi, apa pun tindakan sewenang-wenang yang membatasi kebebasan berpendapat orang asli Papua, apa pun produk hukum yang melarang kebebasan berorganisasi dan berkumpul, apa pun hukum yang melegalkan untuk menumpas perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa Papua, saya katakan tidak ada jalan lain, kecuali orang asli Papua tempuh melalui jalan perlawanan. Ingat: jangan sampai orang asli Papua lupa bahwa dalam kongres bangsa Papua kedua pada tahun 2000 rakyat pribumi Papua telah memutuskan bahwa mengawal perjuangan kebebasan bangsa Papua dengan JALAN DAMAI (non violent). 
Camkanlah bahwa tidak ada kata menyerah dan tidak ada kata tunduk kepada rejim penjajah mana pun dalam kamus revolusi pembebasan nasional. Slogan yang terukir dalam kamus revolusi pembebasan bangsa adalah: maju pantang mundur, maju tak gentar untuk menghalau rejim penjajah guna menegakkan keadilan, kebenaran, kejujuran, demokrasi, Hak Asasi Manusia dan menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga.
Ada banyak cara perlawanan yang kita dapat tempuh sesuai dengan jalan yang kita pilih melalui jalan damai, selain itu kita juga menghargai jalan yang ditempuh oleh sayap militer (TPN PB). Karena pilihan utama jalan politik kita melalui jalan damai, maka itu kita harus memanfaatkan dan memaksimalkan kekuatan-kekuatan yang ada pada kita.
Kekuatan utama kitaadalah berada pada kedaulatan rakyat bangsa Papua. Kekuatan itu kita belum bangkitkan secara menyeluruh di bawah satu komando untuk satu tujuan, di bawah satu wadah politik yang menjadi kendaraan politik bersama, dan dibawah satu konsep ideologi perjuangan serta agenda-agenda strategis dan program kerja bersama. Melalui kendaraan politik bersama dibawah satu kepemimpinan politik sentral dapat mengkoordinasikan ketiga sayap yang ada, yakni sayap sipil, sayap militer, sayap diplomat; dan juga mengembangkan jaringan solidaritas atau kata lain mitra kerja dengan para simpatisan solidaritas masyarakat internasional sebagai sayap keempat. 
Melalui organisasi yang tertata rapi dan jaringan solidaritas yang ada, kita meningkatkan kerja-kerja politik untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya melalui dua solusi final, yakni pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua secara de jure; dan pilihan kedua adalah refrendum ulang. 
Posisi tawar tertinggi bangsa Papua berada pada hasil Kongres Bangsa Papua ketiga. Kenapa saya katakan demikian? Saya hanya melihat dari sisi kekuatan demokrasi, kekuatan politik dan kekuatan hukum yang lahir dalam Kongres Bangsa Papua ketiga. Rakyat bangsa Papua yang datang mensukseskan kongres itu adalah kekuatan demokrasi. Kongres itu adalah sarana untuk berkumpul, berdiskusi, menyampaikan pendapat dan menyepakati serta memutuskan apa yang dikehendaki bersama; itulah kekuatan demokrasi. Dan apa saja yang dilahirkan dalam Kongres Bangsa Papua ketiga sebagai forum demokrasi tertinggi bangsa Papua itulah kekuatan politik dan kekuatan hukum. Maka itu mari kita kompromi politik internal bangsa Papua untuk bersatu dalam satu konsep ideologi perjuangan, agenda strategis-program kerja bersama, bersatu dalam satu organisasi sentral yang menjadi kendaraan politik bersama, dan bersatu dalam kepemimpinan sentral yang diterima dan diakui bersama agar kita menjadi kuat menuju mekanisme internasional. Ketika kita bersatu, maka kita akan kuat untuk menuju kemenangan akhir. 
Sesungguhnya Negara Indonesia secara politik sudah kalah, karena dalam Kongres Bangsa Papua ketiga kita sudah tutup dengan JOKER yaitu Deklarasi pemulihan kemerdekaan kedaulatan bangsa Papua dan berdirinya Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB) pada tanggal 19 Oktober 2011 di Lapangan Zakeus Padang Bulan - Abepura - Jayapura - Papua Barat. Kekuatan demokrasi, politik dan hukum telah terpenuhi dalam hasil Kongres Bangsa Papua ketiga, maka itu sekarang mari kita kompromi politik internal bangsa Papua dan mengawal itu untuk mendapatkan pengakuan secara de jure dan peralihan kekuasan adminitrasi pemerintahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB). Ini hanyalah bersifat tawaran saja, saya tidak memaksa siapa pun; dan pada prinsipnya saya menghormati posisi Anda masing-masing dan menghargai semua upaya yang ditempuh oleh semua komponen bangsa Papua untuk memutuskan mata rantai penindasan RI dan para sekutunya. Jika kita tidak kompromi politik internal bangsa Papua, maka silahkan kita mencari jalan lain yang terbaik, yang dikehendaki oleh semua komponen bangsa Papua. 
Camkanlah bahwa banyak orang asli Papua menderita, banyak orang Papua dibantai, dimarginalisasi, orang Papua menjadi minoritas, didiskriminasi, banyak orang Papua mengungsi ke negara lain, banyak orang Papua ditangkap dan dipenjara, jadi jangan kita bertahan pada posisi masing-masing yang mengakibatkan menunda kemerdekaan kedaulatan penuh bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat dan akhirnya memperpanjang penindasan oleh RI dan para sekutunya kepada orang asli Papua Barat. 
Terkait dengan tudingan teroris, kita tidak perlu takut, tetapi kita waspada dan menghindari tindakan-tindakan tertentu yang melegitimasi RI untuk meningkatkan operasi dari status separatis menjadi status teroris. Untuk itu kita tingkatkan kampanye dan lobi melalui jaringan yang ada untuk meyakinkan kepada masyarakat Internasional bahwa tudingan teroris kepada aktifis Papua merdeka itu adalah upaya NKRI untuk meredam perjuangan luhur bangsa Papua. Perlu kita tahu bahwa cara-cara lain untuk menghadapi perjuangan bangsa Papua sudah gagal total seperti penerapan hukum makar, maka kini Negara Indonesia sedang berancang-ancang meningkatkan penerapan hukum anti terorisme di Tanah Papua. 
Selama ini RI menggunakan slogan: Perang Melawan Separatis Papua, dan ternyata itu sudah gagal total, maka RI hendak mau ganti dengan slogan: Perang Melawan Teroris Papua. Tetapi kasihan, upaya RI bagaikan menyaring angin, pasti akan gagal total sampai Negara Indonesia akan angkat kaki dari tanah Papua dengan kepala tertunduk malu, sama seperti Negara Indonesia mengangkat kaki dari Tanah Timor Timur pasca kemenangan refrendum bagi rakyat Timor Timur, di mana pada saat itu polisi dan militer Indonesia dipukul mundur oleh pasukan PBB yang dipimpin pasukan/tentara elit dari Australia pada tahun 1999. Sebaliknya, jika Negara Indonesia dengan lapang dada mengakui kemerdekaan kedaulatan bangsa dan Negara Papua dengan bermartabat dan selanjutnya mengatur kerja sama di antara dua bangsa dan dua negara yang setara, maka negara Indonesia akan mengangkat kaki dari tanah Papua dengan kepala terangkat dan akan mendapat penghargaan yang setinggi-tingginya dari
  masyarakat Internasional; dan saya yakin rencana pemberian Nobel Perdamaian dunia pasca perjanjian damai RI dengan Aceh di Helsingky kepada presiden RI (SBY) yang telah tertunda akan terwujud. Dengan demikian, nama Indonesia menjadi harum dan terhormat di dunia Internasional. 

PESAN PENUTUP. 
Akhir dari tulisan ini, saya menyampaikan berapa pesan kepada beberapa pihak, antara lain: 
1). Kepada Negara Indonesia, saya mengucapkan selamat berjuang mempertahankan Tanah Papua dalam bingkai NKRI dengan cara-cara kotor dan tidak beradab, tetapi saya ingin katakan bahwa segala upaya Negara Indonesia bagaikan menyaring angin ( tidak akan pernah berhasil); karena perjuangan bangsa Papua adalah perjuangan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, perjuangan untuk menegakkan jati diri setiap pribadi dan jati diri bangsa Papua sama seperti bangsa-bangsa merdeka lain di dunia, maka itu saya yakin bahwa perjuangan kebenaran dan keadilan bangsa Papua itu akan keluar sebagai pemenang akhir. 
2). Kepada siapa pun para simpatisan masyarakat Internasional yang memberi perhatian bagi penderitaan rakyat pribumi Papua, Anda semua adalah bagian dari hidup kami, dan bagian dari sejarah perjuangan Papua Barat. Segala pengorbanan Anda terukir abadi dalam jejak langkah perjalanan bangsa Papua dari generasi ke generasi. Anda semua adalah sahabat dan saudara-saudari kami. Pengorbanan Anda semua adalah bentuk dukungan solidaritas secara nyata untuk menciptakan damai sejahtera di bumi seperti di Surga, khususnya di Tanah Papua. Anda adalah pencinta kebenaran dan keadilan untuk semua; Anda adalah pencinta kedamaian dan kebebasan untuk semua. Tidak ada kata terindah yang kami dapat mengukirkan pengorbanan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di mana saja Anda berada, tidak ada barang terindah dan termahal yang dapat membalas kebaikan Anda kepada rakyat pribumi Papua. Hanyalah rasa terima kasih dari lubuk hati yang paling dalam yang kami ucapkan kepada setiap para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional yang menaruh hati dan yang mendukung kami secara langsung dan tidak langsung bagi pembebasan bangsa Papua dari kemelut penindasan RI dan para sekutunya. Dengan rasa hormat yang amat mendalam dan dari lubuk hati yang paling dalam, kami pesan kepada Anda semua teruslah menaburkan benih-benih kebaikan dalam kebun kehidupan Anda dengan jalan mendukung kami dengan sumbangan moril dan materil menuju penyelesaian status politik dan hukum bagi bangsa Papua di negeri Papua Barat melalui: jalur perundingan; jalur hukum atau jalur dekolonisasi/politik untuk mencapai dua solusi final yaitu pilihan pertama dan terutama adalah pengakuan secara de jure dan atau pilihan kedua: refrendum ulang. 
3). Saya mohon Anda dapat menyebarkan artikel ini kepada sesama aktifis Papua Merdeka dan para simpatisan solidaritas masyarakat Internasional di manca negara melalui email, face book, dan media sosial lainnya agar dapat memahami isinya dan ditindak-lanjuti agar tidak terjebak dalam skenario besar yang dikemas rapi dan sistematis yang sedang dibangun oleh NKRI melalui mesin-mesin pertahanannya dan dengan atas kerja sama para sekutunya diberbagai manca negara untuk mengiring perjuangan bangsa Papua ke ranah teroris, yang akhirnya dapat berdampak buruk pada perjuangan luhur bangsa Papua menjadi musuh dunia dan masuk dalam kotak alias tidak mendapat simpati masyarakat internasional. Kita intropeksi diri dan kita mengawal perjuangan bangsa Papua dengan arif, bijaksana, cerdas, bermartabat dan bertanggung jawab untuk mencapai ke tujuan utama perjuangan kita, yakni kebebasan total. 


Sekian dan terima kasih. 
Abepura, 25 Februari 2012

Persatuan Tanpa Batas Perjuangan Sampai Menang.

Penulis: Selpius A. Bobii,
(Ketua Umum Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat, juga sebagai tahanan politik di Penjara Abepura - Jayapura - Papua Barat)

Source: justiceinpapua.blogspot.com
- - - -